Nyayian Angin Pegunungan Arfak
Catatan Singkat Perjalanan
Dengan
mencarter mobil jenis ranger, kami berempat menuju Distrik Anggi Pegunungan Arfak di Kabupaten
Arfak. Kami berangkat tepat pukul 5 pagi. Dalam perjalanan, supir kami banyak
bercerita tentang kehidupan di Papua Barat. Supir kami tersebut bernama Roni
dan berasal dari Makassar. Dia bercerita bahwa 2 minggu sebelumnya dia baru
saja membayar denda karena menabrak mati seekor babi. Uang sebesar 5 juta pun
harus dibayarkan ke si pemilik babi. Saat melintas di lokasi kejadian, pak Roni
menunjuk rumah si pemilik babi. Rumah mereka sangat sederhana. Praktis di ruas
jalan itu, saya hanya menemukan 4 rumah. Situasi yang sama juga saya temukan
sepanjang jalan menuju Distrik Anggi. Memang mungkin dugaan saya salah karena
hanya melihat bentuk fisik rumah mereka saja. Namun, ketika berbincang dengan
seorang paitua (tetua adat), kondisi keterhimpitan mereka secara ekonomi
memang sangat melumpuhkan. “Tong (kita) hanya mengandalkan hasil kebun
dan menjualnya kembali ke kota, trada (tidak ada) lagi yang bisa
diharapkan dari manapun,“ ungkap paitua yang saya temui di pinggir Danau
Anggi. Ungkapan paitua ini kesan saya mengandung keputusasaan yang
sangat besar.
Sementara
masyarakat mengalami keputusasaan, demam pemekaran dan penentuan posisi-posisi
penting dalam birokrasi telah dimulai di Kabupaten Pegunungan Arfak yang baru
saja dimekarkan. Para pegawai negeri sipil dan kelompok elit yang “merasa”
berasal dari kedua kabupaten itu berlomba-lomba untuk kembali ke daerah
asalnya. Pemetaan suku-suku “asli” sebagai tuan di daerahnya sendiri pun juga
dilakukan di masing-masing kabupaten. Di tingkat elit pemerintahan di kota
Manokwari juga ramai membicarakan siapa tokoh-tokoh yang berpeluang untuk
menjabat sebagai care taker bupati kedua daerah pemekaran ini.
Perdebatan antara para elit ini tentunya berdasar kepada pemahaman bahwa
pemekaran adalah untuk “masyarakat pemilik tanah” dan sebagai “suku asli” yang
menjadi tuan di tanah kelahirannya sendiri.
Suasana
keputusasaan dalam keterhimpitan ekonomi, di tengah gelimang kekayaan alam yang
tereksploitasi dan dana triliunan rupiah dalam skema Otonomi Khusus (Otsus),
seakan tidak berdampak sama sekali dalam peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat. Pembangunan fisik dalam bentuk gedung-gedung memang terjadi dengan
masif. Pembangunan fisik memang tidak terbantahkan terjadi di permukaan
sementara kualitas hidup dasar dalam perekonomian, kesehatan, dan pendidikan
masih sangat memprihatinkan.
Titik Sebaran Orang Arfak
Masyarakat Arfak atau biasa disebut Suku Besar Pegunungan Arfak,
dan dalam penyebutan sehari-hari “Orang Arfak.” Mereka hidup menyebar di bagian
timur wilayah Kepala Burung Papua, yaitu
menyebar di kawasan pedalaman Pegunungan Arfak, Kabupaten
Manokwari. Topografi gunung tersebut berbukit-bukit dan bergelombang dengan
puncak tertingginya 2.900 meter dari permukaan laut. Pegunungan Arfak yang
berarti “pegunungan besar,” atau masyarakat
Arfak menyebutnya “Indon.” Namun sejak
kedatangan masyarakat pantai (masyarakat Biak-Numfor
yang pindah ke kawasan Pegunungan Arfak) dan
pendatang lainnya yang duduk di pemerintahan, mereka menyebutkan sebagai Pegunungan Arfak. Suku Besar Arfak
terdiri dari empat suku bangsa yaitu Hatam,
Meyakh, Sougb (Manikon/Mantion) dan
Moile yang hampir sama kebudayaannya namun
memiliki bahasa yang berbeda. Bahasa Hatam dan Moile termasuk fila Kepala
Burung Bagian Barat, sedangkan bahasa Meyakh
serta Sougb dalam fila Kepala Burung Bagian Timur.
Masyarakat Arfak hidup tersebar di daerah sekitar Manokwari dan di
lembah-lembah serta lereng-lereng pegunungan Arfak dan Anggi. Keempat suku
besar ini secara turun temurun telah
menghuni kawasan dengan pembagian wilayah yang jelas. Suku Hatam adalah yang terbesar menghuni kawasan pegunungan Arfak
bagian utara atau di Wilayah Distrik Oransbari
dan Ransiki; suku Meyakh menghuni bagian barat atau Wilayah Distrik Warmare dan Prafi, mereka sering disebut orang “Arfak
Asli;” suku Sougb umumnya orang luar sebagai
suku Manikion (= orang yang tidak suka mandi) bagian selatan atau di wilayah Distrik Anggi, yang mungkin dianggap sebagai pusat
penyebaran orang Arfak. Selanjutnya, suku Moile tersebar di bagian timur
pegunungan Arfak atau di Distrik Minyambow.
Masyarakat Arfak termasuk dalam ras Melanesoid, dengan bentuk tubuh yang ramping dan pendek tetapi tegap, seperti penduduk
daerah Pegunungan Tengah Papua pada umumnya. Tinggi
badan rata-rata pria Arfak adalah 1,58 meter, dan wanita tingginya rata-rata 1,47 meter. Tentang jumlah populasi orang Arfak
belum ada data yang akurat, karena mereka
sudah hidup menyatu dengan suku-suku lain di Papua Barat dan pendatang dari luar Papua Barat terutama di ibu kota distrik.
Suku-suku asli yang dulunya mempertahankan tanah mereka dari orang
luar, telah bercampur. Perkawinan campuran dan
kesediaan menerima orang lain dari suku lain masuk
hidup di daerah suku mereka, telah membawa sedikit perubahan dalam komposisi
penduduk setiap kampung. Setiap kampung
didiami oleh satu suku, sekarang ini terdapat beberapa
keluarga yang berasal dari suku lain, misalnya di Kampung Warbiadi terdapat dua
marga Sougb, sekarang tinggal di kampung yang dulunya
merupakan tempat tinggal eksklusif orang Hatam. Percampuran suku-suku ini
berlangsung karena perkawina.
Konsep perladangan gilir balik adalah mata pencaharian pokok
masyarakat Arfak. Kebun mereka biarkan menjadi
hutan kembali setelah satu atau dua kali panen. Jangka waktu dari masa bera suatu lahan tidak tentu, dan pohon-pohon yang ada
dalam suatu lahan telah mencapai tinggi 10-15
meter maka lahan tersebut sudah bisa digarap. Sebelum mengenal alat-alat
berladang, seperti kapak, parang, cangkul, dan garu,
yang diperkenalkan oleh penyuluh pertanian –
penduduk hanya bertani di daerah kosong mengelilingi batang pohon yang tumbang, dengan menggunakan alat tradisional tongkat tugal.
Jenis tanaman yang ditanam adalah ubi jalar
dan keladi, disamping pepaya, pisang dan sayur-sayuran. Setelah mengenal
peralatan baru, serta jenis-jenis tanaman yang datang dari luar Papua, hasilnya
dapat mereka jual di pasar seperti kentang, bawang, wortel, kubis, buncis,
sawi, dan saledri.
Untuk bercocok tanam mereka masih menggunakan cara menebas dan
membakar hutan di suatu tanah datar
yang mereka anggap subur. Selain sebagai sarana ladang gilir balik, pemanfaatan
hutan oleh para warga klen adalah untuk areal
berburu, tempat penduduk sebagai sumber protein hewani. Binatang yang banyak mereka buru adalah tikus tanah, kuskus, dan
kanguru pohon, sementara babi hutan dikonsumsi
dan dipelihara. Alat yang digunakan untuk berburu adalah busur dan panah yang terbuat dari bambu dan nibung tua serta gelagah.
Kegiatan ini hanya dilakukan oleh kaum pria.
Mata pencaharian lain adalah mencari ikan di danau-danau. Setelah pegunungan Arfak sebagian besar dijadikan kawasan cagar
alam (68.325 hektar) akses masyarakat dalam memanfaatkan potensi hutan dibatasi.
Pandangan Masyarakat Arfak terhadap Alam
Pandangan masyarakat Arfak terhadap alam di sini adalah pemaknaan
hubungan manusia dengan alam dan sebaliknya dalam rangka untuk
mempertahankan hidupnya. Tingginya usaha menjaga
keselarasan dengan alam atau hutan yang memberi kehidupan
kepada masyarakat Arfak menandakan bahwa mereka memiliki nilai budaya untuk
mempertahankan atau menjaga alam sekitarnya jangan sampai rusak. Ketergantungan
kepada alam sangat kuat, kalau alam atau hutan tempat mencari makanan mengalami
kerusakan maka tidak ada lagi makanan untuk menghidupi warga masyarakat
setempat.
Di samping itu, masyarakat Arfak masih meyakini bahwa lingkungan
alam memiliki kekuatan yang sangat dahsyat, dapat memberikan bencana kepada
mereka, sehingga mereka bersifat apatis tanpa banyak yang diusahakan dengan
hutan tersebut. Masih terdapat kepercayaan bahwa di alam sekitar tempat hidup
manusia seperti hutan dengan pohonnya, sungai, batu, gua dan tebing memiliki kekuatan
gaib yang ditakuti dan dihormati karena selalu mengontrol kehidupan manusia,
sehingga timbul nilai budaya yang tidak aktif memanfaatkan hutan. Hutan boleh
tempat mereka hidup sekadar untuk memenuhi kehidupan sehari-hari seperti
berkebun, meramu dan berburu, tidak boleh mengeksploitasi alam secara
berlebihan. Kayu di hutan hanya untuk kebutuhan untuk membuat rumah dan kayu
bakar. Hal ini dipengaruh adat istiadat
setempat untuk menjaga alam dan sangat sesuai dengan arah pembangunan kita
yaitu pembangunan pertanian berkelanjutan dengan cara hidup harmonis dengan alam.
Hutan tempat mereka berkebun dianggap air susu “ibu” yang memberi
kehidupan kepada mereka. Ketika alam dieksploitasi maka akan marah dan tidak
mau memberikan “makanan” bagi masyarakat Arfak. Walaupun teknik bertani
masyarakat Arfak adalah lading gilir balik dengan membuka lereng-lereng secara
bergiliran, tetapi memiliki upaya mengerem dengan teknik pertanian tradisional
yang tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan, kearifan tersebut dikenal
dengan sebutan igya ser hanjob (igya = kita berdiri, ser = menjaga,
hanjob=batas) yang secara harfiah dapat diartikan: “Kita berdiri
menjaga batas.”
Kalimat bahasa Hatam tersebut mengandung ajakan: “Mari kita sama-sama
menjaga hutan untuk kepentingan bersama”.
Konsep Pengelolaan Hutan Berbasis Kearifan Adat
Masyarakat Arfak mengenal pembagian wilayah tempat mereka mencari
kehidupan sehari-hari yakni: (1) Kawasan Bahamti adalah hutan asli
(primer) yang tidak bisa diganggu untuk ladang/kebun. Kawasan ini sangat dijaga
ketat oleh masyarakat, tidak diperbolehkan menebang kayu, berburu, membuat
rumah, hanya diperbolehkan mengambil kulit kayu, daun untuk atap rumah, dan
rotan; (2) Kawasan Nimahanti adalah bekas kebun yang ditinggalkan (masa
bera) selama 10–20 tahun, pohonnya sudah besar mendekati kawasan Bahamti. Pada
kawasan ini boleh mengambil kulit kayu, rotan, daun, berburu serta boleh
membuka kebun; tetapi tidak boleh membuat rumah; (3) Kawasan Susti adalah
kawasan pengelolaan yang bisa digarap sebagai ladang/kebun; dan (4) Kawasan Situmti,
adalah bekas kebun betatas, dekat dengan perkampungan atau halaman rumah.
Dicirikan rerumputan, ditanami sayuran terutama komoditi yang laku di pasar
seperti daun bawang dan saladeri.
Pihak pemerintah, tokoh agama (pendeta), kepala suku tidak pernah
melarang untuk membuka ladang karena mereka sudah tahu lahan yang bisa
dijadikan kebun (Susti) dan kawasan yang tidak boleh diganggu (Bahamti).
Sedang kawasan Nimahamti adalah kawasan yang bisa digarap ketika
terpaksa yaitu lahan Susti tidak ada lagi, itu pun digarap oleh pemilik hak
ulayat kawasan hutan tersebut.
Semenjak nenek moyang suku pedalaman Arfak sudah melarang untuk
membuka kebun di hutan bahamti karena akan menghabiskan kayu-kayu seperti
rotan, kulit kayu (Butska), bahan untuk bahan dinding rumah, tanaman
obat; dan hewan-hewan seperti burung, kus-kus pohon. Konsep pembagian wilayah
konservasi masyarakat Arfak disebut teknologi Igya ser hanjob (igya =
kita berdiri, ser = menjaga, hanjob = batas), artinya adalah:
Mari kita sama-sama menjaga hutan untuk kepentingan bersama.
Kearifan lokal tersebut sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah
dalam hal pelestarian sumber daya alam hutan tanpa mengurangi hak-hak
masyarakat setempat memanfaatkan hutan sebagai penopang hidup mereka secara
berkelanjutan. Terpeliharanya lingkungan hidup di kawasan Pegunungan Arfak
dapat dibuktikan dengan tidak adanya informasi dan laporan kejadian bencana
alam seperti banjir, tanah longsor, dan kelaparan.
Danau Anggi dan Pesona Eksotismenya
Salah satu keunikan pegunungan Arfak adalah keberadaan danau kembar
yakni Danau Anggi Giji dan Anggi Gita. Suhu sekitar danau sangat dingin.
Apalagi di bukit Kobrey yang bisa mencapai 6 derajat celsius. Oleh masyarakat
suku Sough di kampung Iray, bercocok tanam hortikultura seperti kentang,
wortel, daun bawang, seledri, berbagai jenis bunga antara lain Gladiol Anggi,
Rhododenrum, merupakan pilihan tepat. Mereka belum mengenal pestisida. Tanaman
tumbuh subur terhindar dari zat-zat kimia dan toxic yang berbahaya. Sayang
sekali, hasil panen mereka masih sulit untuk dipasarkan keluar areal
perkampungan mereka karena biaya pengangkutan yang tinggi, tidak menutupi
ongkos pergi-pulang seperti ke Ransiki atau kota Manokwari. Mereka masih sangat
berharap jika pedagang dari luar datang membeli hasil panen mereka. Orang-orang
Arfak sangat menderita jika harga BBM dinaikan karena akan menambah biaya
transportasi.
Keunikan lain yang dapat dijumpai di pegunungan Arfak adalah kehidupan
sosial masyarakat asli pegunungan Arfak yang terdiri dari beberapa suku seperti
suku Meyakh, suku Sough, suku Hatam dengan beragam bahasa serta tradisi yang
masih dipertahankan hingga saat ini. Di antaranya, seorang lelaki wajib
berjalan di belakang perempuan baik anaknya maupun istrinya. Kita juga dapat
menjumpai budaya Arfak yang berkenaan dengan prosesi ritual pengucapan syukur
yang disimbolkan dengan tarian Magasa, sejenis tari ular. Biasanya, hampir
setiap musim panen, perkawinan atau menyambut tamu, tarian ini dipertunjukkan.
Rumah tradisional Arfak disebut Igkojei, yang oleh suku Sough disebut
Tumisen, terkenal dengan tahan lama dan kokoh, karena tiang yang banyak terbuat
dari jenis kayu bua yang tidak mudah patah meskipun hanya berdiameter 5-10 cm.
Rumah Tumisen ini juga sering disebut rumah kaki seribu karena tiangnya yang
banyak. Saat ini keaslian rumah Igkojei atau Tumisen sudah mulai langkah
apalagi atap yang asli dari rumput ilalang rat-rata sudah diganti menggunakan
seng. Eksistensi rumah tradisional orang Arfak ini mulai terancam dengan adanya
kebijakan pemerintah daerah dengan menyediakan perumahan “modern”.
Masih tersimpan banyak keunikan dan keindahan lainnya lagi yang bisa
kita dapatkan di kawasan pegunungan Arfak. Jika Anda peneliti atau mahasiswa,
petualang, professional ataupun hobbies fotografi flora-fauna, ataupun Anda
tergolong “wisatawan modern/minat khusus”, segera datang di Papua Barat.
Jelajahi pegunungan Arfak, telusuri goa terdalam di dunia, berkeliling di dua
danau Anggi dan buktikan kepada dunia bahwa Anda-pun turut serta berperan
“menyelamatkan” hutan Papua.
2 comments:
dalam waktu dekat aku berangkat ke sebagian kecil pegunungan Arfak dari Manokwari... ^__^ semoga aku bisa menikmati keelokannya ^_^
dalam waktu dekat aku berangkat ke sebagian kecil pegunungan Arfak dari Manokwari... ^__^ semoga aku bisa menikmati keelokannya ^_^
Post a Comment