Dampak
Kenaikan BBM Bagi Masyarakat Lamalera – Lembata
Bertahan
Arif atau Jadi Eksploitatif?
Bagi masyarakat Nusa
Tenggara Timur, Lamalera dan ikan paus hampir merupakan sebuah pengertian tak
terpisah. Buat orang luar, bahkan jika peta dunia dibentangkan dan ada tugas
untuk menunjukkan letak pulau Lembata, tempat Desa Lamalera, kemungkinan besar
jarang yang tahu pulau kecil ini.
Pulau Lembata merupakan
pulau kecil yang masuk dalam gugusan pulau-pulau yang terbentang pada keping
geologi yang dikenal dengan paparan Sahul. Lembata terletak antara pulau Timor
dan Flores, sederet dengan sejumlah pulau kecil. Pulau-pulau kecil dalam
deretan ini dari barat ke timur adalah Solor, Adonara, Lembata, Alor dan
Pantar. Secara administrasi, Pulau Lembata masuk Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Lembata dengan Orang
Lamaleranya terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai pemburu ikan paus yang
gagah berani. Kegagahan dan keberanian tersebut dibuktikan dengan pemakaian
alat-alat sederhana untuk kegiatan berburu binatang sebesar paus! Mendengarkan
ikan paus saja, yang terbayang adalah ikan raksasa, ikan paling besar dari
segala jenis ikan. Bahkan makhluk paling besar di muka bumi. Bagi orang
Lamalera tempuling (harpoon/tombak),
peledang (perahu tradisional), galah untuk menancapkan tempuling, faje (dayung)
dan beberapa perangkat tradisional lainnya sudah cukup memadai dipakai untuk
memburu dan mengalahkan ikan paus, sisanya adalah kegagahan dan keberanian.
Mei sampai
Oktober merupakan periode untuk melakukan ritual Olanua. Kata ’Olanua’ dalam bahasa setempat artinya
bakti untuk kampung halaman. Ada serangkaian kegiatan dalam periode ini. Antara lain kegiatan perburuan ikan-ikan besar seperti ikan paus, pari dan
hiu. Musim berburu ini
disebut juga musim ’lefa’.
Prosesi
olanua diawali dengan misa (upacara agama Katholik) dan ‘ceremoti’ (upacara tradisional). Dalam prosesi ini seluruh komponen
masyarakat berkumpul dan membicarakan seluruh persoalan keseharian dan
persoalan perburuan termasuk tahapan-tahapan yang akan dilakukan. Makna
prosesi, pertemuan masyarakat dan pembicaraan mereka merupakan sebuah upaya
menjaga keharmonisan hubungan antara darat dan laut serta hubungan antar
manusia. Keharmonisan hubungan tersebut dipercaya sebagai hubungan sebab
akibat.
Kurang harmonisnya
hubungan tersebut (baik dengan alam atau antar manusia) membawa dampak buruk
terhadap kehidupan mereka. Oleh sebab itu orang Lamalera sangat menjaga
keseimbangan dan keharmonisan hubungan tersebut, hal ini terutama menyangkut
aturan perburuan dan bagaimana hasil buruan tersebut dibagi. Hal ini dapat
dilihat bahwa prioritas hasil tangkapan/buruan ikan diberikan kepada para
janda, fakir miskin dan yatim piatu. Aturan berburu dalam tradisi olanua pun
melarang untuk memburu/menombak/membunuh ikan paus atau lumba-lumba yang sedang
bunting demi tujuan pelestarian ikan lumba-lumba dan paus serta keberlanjutan
tradisi berburu dan olanua.
Kenaikan BBM dan Keberlanjutan Kearifan Tradisional
Tradisi
barter merupakan kebiasaan yang masih dijalani oleh orang Lamalera dan Lembata
pada umumnya. Ikan ditukarkan dengan bahan makanan pokok, dan dipercaya bahwa
hasil laut mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka melalui sistem barter yang
mereka praktekkan. Mungkin kita masih penasaran, bagaimana bisa mereka
bertahan di jaman sekarang?
Jaman yang susah,
harga BBM naik, dan langka pula persediaannya. Orang diharuskan antri
berjam-jam atau bahkan berhari-hari hanya untuk beberapa liter bensin, solar
ataupun minyak tanah. Bagaimana orang Lamalera bertahan, bagaimana dampak
kenaikan harga BBM dan ketersediaannya di masyarakat Lamalera? Karena BBM
hampir tidak bisa dipisahkan dari sendi kehidupan manusia, mulai dari kebutuhan
perut sampai transportasi.
Jika kondisi umum
Nusa Tenggara Timur pasca kenaikan BBM 2008 bisa menjadi gambaran kondisi
Lembata/Masyarakat Lamalera maka kliping Koran KOMPAS tanggal 26 Januari 2009
mungkin bisa memberi gambaran tersebut. Setidaknya kondisi masyarakat tidak
berubah jauh dalam hal ketergantungan pada BBM.
Meskipun sebagian rumah masih
mengandalkan lampu minyak (dari pelita sampai petromaks) dan masih banyak
keluarga menggunakan olahan daging buah kemiri dan minyak ikan untuk penerangan
BBM masih menjadi faktor penting dalam kehidupan mereka. Karena sebagian warga
sudah menggunakan listrik dari generator yang juga butuh BBM.
Memang ada janji penyaluran
dana kompensasi BBM dalam bentuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) ke
masyarakat miskin, mulai dari uang segar sampai kompensasi (baca: memperbesar
subsidi) untuk sektor pelayanan sosial dasar (pendidikan dan kesehatan).
Ini adalah program kompensasi
kenaikan harga BBM. Namun, seperti juga program Bantuan Langsung Tunai (BLT),
anggaran BLSM ini sangat kecil, bersifat sementara, dan sasaran penerimanya pun
terbatas. Dana BLSM hanya Rp 150 ribu per keluarga. Program ini hanya
berlangsung selama 4 bulan pasca kenaikan harga BBM. Jadi, total kompensasi
yang diterima keluarga miskin melalui BLSM ini hanya Rp 600 ribu.
Selain menerima BLSM, keluarga
miskin juga akan mendapat bantuan lain, seperti Bantuan Siswa Miskin, Program
Keluarga Harapan (PKS), dan Beras Rakyat Miskin (Raskin). Raskin sebanyak dua
kali dalam satu bulan dengan jumlah 30 kilogram. Setiap penerima program
konpensasi BBM ini akan dilengkapi kartu sakti, yakni Kartu Perlindungan Sosial
(KPS).
Beribu alasan
dihembuskan untuk melegitimasi pencabutan subsidi BBM. Upaya meredam reaksi
terhadap kenaikan dilakukan secara tambal sulam. Antara lain dengan program
penyaluran dana kompensasi. Tambal sulam ini menimbulkan pertanyaan serius
karena yang namanya penyaluran dana kompensasi telah dilakukan beberapa tahun
belakangan ini, yang anehnya tetap tidak bisa meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Sebagai contoh, sejak
tahun 2000 Dana kompensasi BBM--sekali lagi di atas kertas--disalurkan untuk
membantu penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat,
dan mengatasi kekurangan pangan yang disalurkan oleh Dinas Sosial, Dinas
Koperasi, Kimpraswil, dan Kantor Posindo. Sayang, rincian alokasi dana itu
tak seluruhnya terekam di Kantor Bappeda NTT. Bahkan saya bertemu dan
berbincang dengan pegawai diknas NTT yang mengatakan tidak mengetahui DANA kompensasi
BBM untuk pendidikan.
Hal di atas merupakan sekelumit
pelajaran pahit yang terjadi dalam beberapa tahun terkini. Masih terakam jelas
kegelisahan kaum pesisir yang diwakili oleh orang Lamalera saat ngobrol lepas
dengan saya. Yang tergambar adalah
kondisi akan semakin sulit. Dari keterangan yang diperoleh, bahwa meskipun
harga BBM setelah kenaikan, untuk bensin saja misalnya Rp. 5500/liter tetapi
berhubung di Lembata tidak ada Depo Minyak Pemerintah dan yang ada hanyalah
Agen, maka harga eceran yang diberlakukan adalah kesepakatan antara pemerintah
daerah dan agen BBM yaitu Rp. 5800/liter. Sehingga bisa dikatakan kenaikan BBM
di Lembata menjadi lebih dari 100% dan tentu saja hal tersebut sangat
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Lembata. Dan ini jelas terkait dengan tradisi berburu
ikan paus sebagai salah satu aktivitas ekonomi dalam menciptakan ketahanan
pangan selama ini.
Masalah ketahanan pangan dan
pendidikan menjadi perhatian utama mereka sekarang ini. Alasannya adalah untuk
pergi ke sekolah membutuhkan transport dan jika ongkos transportasi naik maka
otomatis pengeluaran akan membengkak. Sedangkan di sisi lain penghasilan tetap sehingga
pilihannya adalah antara mengurangi pengeluaran lain atau anak-anak terpaksa
berhenti sekolah. Meskipun masyarakat sadar bahwa pendidikan (formal) adalah
hal penting dalam kehidupan sekarang ini.
Keprihatinan lain adalah
kerawanan pangan. Ini merupakan hal yang sering kita dengar terjadi di NTT. Seperti berita KOMPAS 13 Maret 2005, “Warga
31 Desa di Lembata NTT Alami Kelaparan”, satu kecamatan yang meliputi 22 desa di Kabupaten Lembata sudah mengalami
kelaparan. Selain itu, sembilan desa di dua kecamatan
lain dalam kondisi terancam kelaparan. Kelaparan
disebabkan tanaman yang menjadi sumber pokok pangan, yakni jagung, padi gogo,
dan kacang-kacangan, puso akibat kekeringan.
Kabupaten ini meliputi Pulau Lembata, terdiri dari delapan kecamatan
dengan 132 desa yang dihuni sekitar 89.697 jiwa. Dari jumlah penduduk itu,
sekitar 80 persen di antaranya tercatat miskin. Kegiatan ekonomi daerah paling
besar disumbangkan sektor pertanian, yakni sekitar 64 persen… Sebanyak
enam desa dari 12 desa di Wulandoni juga dilaporkan terancam kelaparan. Enam
desa itu antara lain Lelojara, Atakera, Wulandoni, dan Lamalera. Di sini, ada
102,50 hektar padi gogo, 216 hektar jagung, dan 110 hektar kacang tanah, 45,5
hektar kacang hijau puso. Ada 586 keluarga tani yang terancam kelaparan.
Kenaikan harga BBM dan kegagalan
panen masyarakat petani di Lembata yang berujung pada kerawanan pangan dan
bahkan bencana kelaparan akhirnya menjadi efek domino terhadap masyarakat
nelayan di Lamalera. Hukum dasar ekonomi permintaan dan penawaran (persediaan
dan ketersediaan) menjadi tidak seimbang bahkan dalam sistem barter yang mereka
lakukan.
Dulu mungkin sekilo ikan bisa
ditukar dengan sekilo beras atau bahan makanan pokok lain misalnya. Ketika
penawaran (ketersediaan) bahan makanan pokok menjadi langka maka tentu saja nilai
tukarnya menjadi semakin tinggi. Sekilo ikan tidak lagi bisa / boleh ditukar
dengan sekilo makanan pokok. Mungkin hanya boleh ½ kilo atau ¼ kilo, sedangkan kebutuhan akan
bahan makanan pokok tetap. Hal lain yang memprihatinkan adalah bahan makanan pokok
umumnya sangat tergantung pengadaannya dari luar Lembata. Kenaikan BBM
jelas membawa dampak naiknya biaya pengangkutan bahan makanan dan kebutuhan
lain dari luar. Artinya untuk memenuhi kebutuhan akan bahan makanan pokok yang
tetap, masyarakat nelayan terpaksa harus menukar dengan jumlah hasil tangkapan yang
lebih banyak.
Situasi
seperti ini pada gilirannya akan mendorong masyarakat bekerja lebih keras dan
lebih eksploitatif, dan bukan tidak mungkin kemudian aturan adat yang
berorientasi pada keberlanjutan dan keseimbangan menjadi dikesampingkan demi
pemenuhan perut hari ini. Mungkinkah kearifan masyarakat Lamalera dalam menjaga
keharmonisan hubungan manusia dengan alam akan pudar? Mungkinkah sang pemburu
paus yang gagah berani akan akan tergulung ombak dan tenggelam dalam lautan jaman (yang susah BBM)? Ini pertanyaan bukan cuma
untuk Lamalera dan Lembata.
Penulis: Jopi Peranginangin
No comments:
Post a Comment