Bagi aktifis gerakan sosial, nama Subcomandante Marcos dan Zapatista sudah begitu populer, bahkan melegenda. Zapatista National Liberation Army (EZLN-Ejército Zapatista de Liberación Nacional) merupakan salah satu gerakan masyarakat adat progresif yang lahir dari pergolakan panjang di Meksiko. Negara kaya sumberdaya alam ini tak mampu mensejahterakan rakyatnya. Negara ini terlilit hutang luar negeri dan praktek korup pemerintahan, mengakibatkan sebagian besar rakyatnya hidup dalam kemiskinan.
Puncaknya saat Presiden Meksiko, Carlos Salinas, melaksanakan kebijakan liberalisasi ekonomi dalam rangka persiapan menuju NAFTA (North American Free Trade Area). Sejak itu tidak ada lagi pembatasan impor jagung, dan penghapusan perlindungan atas harga kopi. Komunitas adat yang basis ekonominya mengandalkan pada komoditas tersebut semakin tertekan dan mulai melancarkan berbagai protes. Seperti yang dilakukan pada tahun 1992 dan 1993, mereka melakukan pengerahan massa secara damai menuju kota-kota untuk memprotes kebijakan tersebut, namun mereka tidak pernah mendapat jawaban apapun. Sampai pada pertengahan tahun 1993, mereka mengubah perlawanannya menjadi lebih radikal. Mereka berhenti menanam jagung, kopi-kopi mereka dibiarkan terbengkalai di semak-semak, dan anak-anak mereka keluar dari sekolah, kemudian mereka jual ternak untuk beli senjata.
Pada 1994, Zapatista memperkaya strategi perlawanan dengan melancarkan perang informasi. Strategi komunikasi ini menjadi kunci utama keberhasilan mereka dalam mencuri perhatian dunia. Mereka melakukan taktik gerilya di hutan-hutan dan gerilya informasi secara sekaligus.
Semuanya berawal pada perayaan tahun baru 1994. Sekitar 3000 orang mengenakan topeng ski hitam yang menamakan dirinya Zapatista, terdiri dari enam suku masyarakat adat Tzotzil, Tzetzal, Tojolabal, Zoque, Chol, dan Ma’am bergerilya mengepung beberapa Kotapraja di selatan barat Chiapas, Meksiko. Mereka menolak perjanjian NAFTA antara Amerika, Kanada dan Meksiko yang akan diimplementasikan esok harinya, pada 1 Januari 1994. Mereka juga berbicara tentang eksploitasi yang dialami oleh populasi masyarakat adat selama ratusan tahun, yang mereka sebut sebagai kejahatan global dari rezim neoliberal. Malam itu mereka bersumpah akan berjuang untuk tanah mereka, untuk keadilan, kebebasan dan demokrasi bagi semua rakyat Meksiko. Zapatista mendeklarasikan perang kepada pemerintah Meksiko, justru ketika presidennya, Carlos Salinas, sedang merayakan tahun baru dengan masuknya Meksiko ke dalam sistem perdagangan internasional.
Sejak itu Zapatista memproklamirkan agenda revolusionernya, dan mulai melakukan kampanye melalui media internasional, dan mengundang para pengamat, aktivis dan jurnalis asing untuk datang ke Chiapas dan melihat lebih dekat. Pemerintahan Meksiko melawan kampanye internasional Zapatista dengan mencoba menyakinkan dunia bahwa Meksiko dalam keadaan yang stabil, bahwa para pemberontak tersebut telah berhasil diisolasi dan apa yang terjadi hanyalah kerusuhan lokal saja.
Pemerintahan Meksiko kemudian mengirim pasukan militer dan melancarkan serangan untuk menekan perlawanan Zapatista. Gempuran pasukan ini berhasil mendesak Zapatista hingga jauh ke dalam hutan Lacandon. Namun dari situlah Zapatista justru menemukan jalan lain dengan menjalankan strategi perang informasi.
Pemerintah lewat kementerian informasi terus menerus mereproduksi pernyataan bahwa tidak ada gerakan gerilyawan masyarakat adat di Chiapas. Pernyataan pemerintah tersebut kemudian direspon Zapatista. Juru bicara Zapatista, Subcomandante Marcos, melakukan konferensi pers dan dikirimkan melalui internet ke beberapa kantor berita internasional, menyatakan bahwa Zapatista merupakan gerakan akar rumput masyarakat adat di Chiapas yang sedang membuat tuntutan dalam skala nasional. Artinya tuntutan perjuangan mereka meliputi hak-hak masyarakat Meksiko secara keseluruhan. Zapatista makin populer dan berhasil menggalang dukungan yang lebih luas dari masyarakat Meksiko, bahkan dukungan juga datang dari aktifis-aktifis gerakan sosial internasional.
Mereka juga menggunakan teknologi telekomunikasi, video dan internet, untuk menyampaikan pesan mereka dari Chiapas ke seluruh dunia. Zapatista yang awalnya menggunakan strategi kekerasan dalam perjuangannya, dalam beberapa minggu, perjuangannya berubah dan meluas menjadi gerakan non kekerasan tapi justru lebih memiliki daya rusak. Mereka membuktikan bahwa penggunaan informasi yang tepat lebih memiliki kekuatan dari pada peluru, dan mampu mengajak keterlibatan para aktivis dari jarak jauh dan menciptakan penolakan nasional dan internasional atas kebijakan pemerintahan Meksiko. Dan pada dua tahun selanjutnya, proses negosiasi antara Zapatista dan pemerintahan Meksiko selalu mendominasi headline media massa di Meksiko dan selanjutnya menggerakkan perdebatan dan diskusi-diskusi mengenai masa depan Meksiko.
Zapatista merupakan pelopor bagi gerakan sosial dalam hal politisasi teknologi, terutama teknologi media baru. Zapatista berhasil memanfaatkan tekhnologi informasi saat infrastruktur dan inovasi fasilitasnya yang beragam belum berkembang pesat dan secanggih sekarang. Saat ini dengan modem kecil seukuran korek api, atau fasilitas wireless bisa membuat kita bisa terkoneksi ke internet kapan dan dimanapun. Tapi apa yang masih sangat minim dari teknologi internet seperi email dan fasilitas pengiriman dan penyimpanan data berhasil dimanfaatkan oleh Zapatista untuk mengirimkan pernyataan, sanggahan, dan ajakan dalam bentuk tulisan, gambar dan video agar kondisi sosial, ekonomi dan politik yang mengeksploitasi masyarakat adat selama ini menjadi isu yang terangkat ke permukaan.
Lewat politisasi teknologi Zaptista menjalankan perang jaringan, sebuah perang yang berbeda dengan perang tradisional. Pada perang ini para prajuritnya membentuk sebuah kesatuan yang saling terkait antara jaringan organisasi, doktrin, strategi dan teknologi informasi. Para prajurit tersebut adalah kelompok-kelompok kecil yang saling berkomunikasi, berkoordinasi, dan melakukan kampanye dengan menggunakan internet. Sehingga apa yang tadinya merupakan peristiwa lokal di pedalaman Chiapas bisa menjadi isu internasional.
Kasus Zapatista adalah salah satu gambaran, dan dinilai sebagai salah satu contoh terbaik soal bagaimana para aktivis gerakan sosial mampu mengatasi kendala jarak. Dan bagi gerakan masyarakat adat di Indonesia, strategi penguasaan informasi dan komunikasi yang dikembangkan Zapatista bisa dijadikan inspirasi. Aktifis masyarakat adat di Indonesia harus responsif terhadap revolusi informasi, dan mampu mengembangkan strateginya dengan melakukan penguasaan teknologi jaringan informasi sebagai bagian dari kerja-kerjanya. Pada situasi ketika perkembangan Internet begitu agresif, gerakan masyarakat adat di Indonesia hendaknya mampu meresponnya dengan membuat sebuah kesatuan yang lengkap antara aspek organisasional, doktrinal, strategi, taktik dan penguasaan teknologi informasi terutama media baru.
No comments:
Post a Comment