Tanah bagi masyarakat adat adalah bagian yang sangat erat dengan kehidupan mereka, baik secara sosial, budaya dan ekonomi. Tanah tidak hanya dipandang sebagai barang produksi/ekonomi semata, melainkan juga memiliki nilai sosial, spritual budaya yang diwariskan secara turun temurun. Bagi masyarakat adat kehilangan tanah adat akan berdampak pada kehilangan jati diri, kehilangan budaya yang luhur, kehilangan nilai-nilai spritualitas yang menghubungkan gernerasi masyarakat adat dengan leluhurnya, dan tentu saja kehilangan sumber daya utama untuk pemenuhan ekonomi dan pangan.
Masyarakat adat di Indonesia telah banyak mengalami penderitaan akibat dari praktek-praktek perampasan tanah adatnya. Melalui berbagai intrumen hukumnya, Rejim Orde Baru merampas tanah-tanah adat. Praktek yang hingga kini masih digunakan di era reformasi. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang memiliki anggota komunitas adat sebanyak 1636 komunitas adat mencatat sedikitnya 530 konflik tanah adat yang hingga detik ini belum terselesaikan.
Umumnya tanah-tanah adat ini dikuasai oleh pihak lain melalui sistem perijinan yang diberikan oleh Negara dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB). Masyarakat Adat dipaksa dan ditaklukkan oleh sistem perijinan ini, yang kemudian menghilangkan hak-hak dasarnya, dan memiskinan mereka. Penguasaan negara atas sebagian besar tanah dan kekayaan alam yang ada di wilayah-wilayah adat terus berlangsung. Cara-cara pengambilan tanah ini juga diikuti oleh tindakan pelanggaran HAM lewat tindakan-tindakan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi.
Kembali ke soal rencana pengesahan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Pemerintah seperti kehilangan akal sehatnya saat ingin mempercepat pembahasan RUU tersebut. Lihat saja pasal-pasal yang tercantum dalam RUU ini yang berpotensi merampas tanah-tanah masyarakat adat.
Misalnya Pasal 6 yang menyatakan bahwa “Pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum”. Kemudian pada Pasal 9 RUU juga menyatakan bahwa “Pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum tunduk dan terikat pada ketentuan dalam undang-undang ini”.
Kandungan dalam pasal tersebut diatas menegasikan prinsip-prinsip free, prior and inform consent (FPIC) atau hak masyarakat untuk menyatakan setuju atau tidak setuju pada agenda-agenda pembangunan pemerintah. Dengan demikian RUU ini tidak mempertimbangkan sistem kepemilikan tanah pada masyarakat adat yang bersifat komunal. RUU memang menyebutkan masyarakat hukum adat sebagai pihak yang berhak mendapatkan ganti rugi. Namun RUU tidak mengatur mengenai prosedur konsultasi untuk mencapai persetujuan dari masyarakat adat yang kemudian ganti rugi dapat diberlakukan. Karena sebagian tanah masyarakat adat masih dimiliki secara komunal, harus ada mekanisme pengambilan keputusan ditingkat masyarakat adat sebelum terjadi pelepasan hak atas tanah. Pengambilan keputusan ditingkat masyarakat ini tidak diatur dalam RUU tersebut.
Pasal 6 dan pasal 9 dalam RUU ini jelas jauh ketinggalan dari isi Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat atau UNDRIP. Indonesia sendiri adalah salah penandatangan UNDRIP pada September 2007. Isi deklarasi yang dianggap lebih maju dari padal-padal dalam RUU tersebut adalah pasal 10, yakni: “Masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka. Tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa persetujuan bebas dan sadar, tanpa paksaan dari masyarakat adat yang bersangkutan, dan hanya boleh setelah ada kesepakatan perihal ganti kerugian yang adil dan memuaskan, dan jika memungkinkan, dengan pilihan untuk kembali lagi”.
Selain soal tersebut di atas, RUU ini juga menekankan “alat bukti penguasaan/kepemilikan obyek” (baca: sertifikat) sebagai satu-satunya alat bukti yang sah menurut hukum dan tidak dapat diganggu gugat di kemudian hari (pasal 45). Padahal UUPA sendiri menetapkan bahwa sertifikat bukan merupakan bukti mutlak, tapi merupakan bukti yang kuat dan memberikan kepastian hukum atas penguasaan tanah. Berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung menunjukkan bahwa girik, letter c dan bukti penguasaan tanah adat dapat menjadi alat bukti yang lebih kuat dari sertifikat jika didukung oleh data yuridis, data fisik, dan atau penguasaan fisik secara terus menerus.
Potensi terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM di dalam RUU ini sangat besar, mengingat sebagian besar tanah-tanah masyarakat adat yang dikelola secara komunal tidak memiliki dokumen hukum lengkap. Sedangkan, dasar ganti kerugian adalah bukti sertifikat. Keadaan ini jelas akan mempertajam potensi konflik agraria yang sudah banyak terjadi. Apalagi di dalam RUU tersebut tidak ada pengakuan yang hakiki atas hak masyarakat adat maupun tanah komunal atau tanah adat.
RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan ini jelas-jelas mengancam sistem kepemilikan tanah dan kehidupan masyarakat adat. Dan anehnya, pemerintah Indonesia seperti kehilangan akal sehatnya. Pemerintah seharusnya menyusun regulasi yang memperjelas status hak masyarakat (adat) atas tanah, bukan malah sebaliknya membuat regulasi yang mempertajam konflik atas tanah. Dalam hal ini, regulasi tersebut harus mengakui dan menghormati ssstem-sistem kepemilikan atas tanah yang beragam dalam masyarakat adat. Sebelum ada regulasi yang memperjelas status hak masyarakat atas tanah, maka pengambil kebijakan (Pemerintah dan DPR) harus menunda pengesahan RUU ini menjadi UU dan lebih jauh dari itu menghentikan aktivitas-aktivitas pembangunan yang saat ini dalam sengketa. Karena Pengesahan RUU ini akan semakin melanggengkan praktik-praktik pelanggaran HAM terhadap masyarakat adat, termasuk perempuan, yang merupakan kelompok rentan di dalam konstruksi jender patriarki yang masih berlaku di Indonesia.
No comments:
Post a Comment