Tobelo adalah sebuah kota di ujung Pulau Halmahera. Ukurannya kecil bila dibandingkan kota-kota di Pulau Jawa. Ia tak lebih besar dari sebuah real estate ukuran kecil di Jakarta. Ia bisa dijangkau dengan mudah dari Manado langsung dengan pesawat Merpati, mendarat di daerah Kao, sekitar satu jam dari Tobelo. Atau melalui Bandara Sultan Babullah, Kota Ternate. Dari bandara tersebut, bisa menumpang pesawat Dornier 328 milik Express Air menuju Bandara Gamar Malamo, Galela. Hanya butuh waktu 30 menit untuk mencapai Galela merupakan termasuk dalam kawasan Halmahera Utara. Dari Galela, bisa menempuh jalur darat menuju Tobelo. Atau setibanya di Ternate, bisa menuju Kota Tobelo melalui jalan darat. Butuh waktu sekitar 3 – 4 jam jika menempuh perjalanan melalui jalur darat. Rombongan PB AMAN mengambil pilihan terakhir, melalui jalur darat untuk menuju Tobelo setibanya di Bandara Sultang Baabullah, Ternate.
Sepanjang perjalanan darat dari Ternate ke Tobelo, dengan diselingi perjalanan melalui laut kurang lebih 45 menit, kami menikmati pemandangan gunung, pohon kelapa, hingga rumah-rumah penduduk khas penduduk Halmahera Utara. Tak jarang kami melihat cokelat yang sedang dijemur di pinggir jalan. Biji pala dan bunga pala, rempah-rempah asal tanah Maluku pun terhampar secara terbuka di depan rumah penduduk. Padahal Pala di pasar internasional merupakan komoditi mahal. Apalagi bunga pala atau fuli, harganya lebih mahal daripada biji pala.
Karena dikelilingi lautan, wisata bahari menjadi andalan Halmahera Utara. Selain budaya yang kental, saya kira, Tobelo bisa jadi daerah tujuan wisata sing ciamik! Ada laut. Ada gunung. Ada sejarah.
Sementara di daerah Kao dan Galela banyak peninggalan dari Perang Dunia II seperti meriam antik, bunker, landasan pesawat terbang, kapal perang. Bunker Jepang dan Amerika Serikat bisa ditemukan di Kao dan Pulau Bobale. Bunker Jepang merupakan terowongan bawah tanah sebagai persembunyian tentara Jepang. Terowongan ini memiliki panjang 20 meter.
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Bupati Halmahera Utara, kami melintasi Rumah Adat Hibua Lamo. Letak rumah adat ini berada persis di tengah kota. Hibua Lamo sendiri berarti "rumah besar". Rumah adat Halmahera Utara ini memiliki ciri khas berbentuk segi delapan. Ada empat pintu untuk masuk ke rumah adat ini yang menghadap ke empat mata angin.
Bahkan, kantor bupati Halmahera Utara pun mengambil desain yang sama yaitu segi delapan. Menurut Jesaya Banari, konsep empat pintu tersebut berarti keterbukaan dan menerima siapa saja yang datang.
Hal menarik lainnya terkait dengan pelestarian budaya di Halmahera Utara adalah pengenalan Tarian Cakalele ke murid-murid sekolah. Tarian Cakalele merupakan tari tradisional Maluku. Tarian perang ini dibawakan laki-laki yang membawa parang dan salawaku. Sementara penari perempuan menari dengan lenso atau sapu tangan. Anak-anak kecil itu tampak piawai menarikan Cakalele.
Saat ini pemkab menggalakkan pelestarian tarian Cakalele dengan menanamkan sejak dini tarian tersebut ke anak-anak. Bahkan Halmahera Utara pernah mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia karena rekor 1000 penari penampilan Cakalele anak-anak di tahun 2009.
Selain itu, ada juga kerajinan tangan berupa anyaman. Keterampilan membuat tikar pandan sudah menjadi warisan turun temurun penduduk Halmahera Utara. Ada pula kerajinan Saloi berupa tas punggung tradisional yang terbuat dari rotan.
Jika ingin berkeliling kota Tobelo? Naik saja bentor alias becak motor untuk berkeliling daratan kota Tobelo. Bisa juga naik ojek motor. Anda bisa menemukan ojek motor di pasar Tobelo. Sementara untuk menjelajahi pantai dan pulau di Halmahera Anda bisa menumpang taksi. Eits, jangan salah ini bukan sembarang taksi. Tapi perahu antar pulau yang oleh penduduk setempat disebut sebagai taksi.
Ada dua bank di Tobelo, BNI dan BRI, serta sebuah pasar dan terminal angkutan kota yang berantakan. Orang banyak jualan makanan di pusat kota, dari coto Makassar hingga ayam goreng Jawa.
Pusat kota sederhana. Tobelo termasuk kota yang banyak penduduk Kristennya. Saya melihat orang memakai kalung salib dimana-mana. Di pusat kota, juga sering terdengar lagu-lagu disco gereja. Amazing Grace dan Kumbaya rasanya menghantam telinga di pusat kota ini. Pada 1999-2001, Tobelo juga jadi pusat pertumpahan darah Kristen-Islam yang buruk sekali. Hampir separuh kota terbakar habis. Listrik tak menyala hampir empat tahun.
Menariknya, ia cepat sekali bangkit dari keterpurukan itu. Ada suasana terbuka yang wajar. Baik orang Kristen dan Islam mengatakan tak ada yang menang, tak ada yang kalah dalam peperangan itu. Mereka kini belajar untuk toleran satu dengan yang lain.
Peran Lembaga Adat dalam Upaya Perdamaian di Halmahera Utara
Konflik horinzontal bernuansa SARA yang melanda Halmahera dan sekitarnya (1999–2000) merupakan pelajaran yang tak terlupakan bagi seluruh komponen masyarakat di daerah ini. Di Halmahera Utara sendiri konflik tersebut menjadi noda hitam dalam sejarah kehidupan masyarakat adat yang begitu menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Dari konflik yang terjadi di Maluku Utara, kawasan Halmahera Utara merupakan salah satu wilayah yang paling banyak menelan korban jiwa.
Di Halmahera Utara khususnya wilayah Tobelo yang justru merupakan tempat dimana peradaban suku–suku setempat bermula dan berada di bawah payung adat "Hibualamo" sebagai komunitas masyarakat adat yang sangat menjunjung nilai–nilai kekeluargaan dengan slogan "ngone oria dodoto" yang berati kita semua bersaudara, justru menjadi titik rawan konflik.
Akan tetapi penyelesaian konflik yang relatif singkat jika dibandingkan dengan konflik serupa di Maluku (Ambon) adalah hal menarik yang patut dicermati. Hal tersebut tidak luput dari peran lembaga adat sebagai wadah pemersatu dalam mengupayakan rekonsiliasi antar kedua belah pihak yang bertikai. Proses penyelesaian konflik di Halmahera Utara dapat terwujud melalui keterlibatan aktif masyarakat dan tokoh-tokoh adat yang sama–sama menyadari bahwa mereka hanyalah korban kepentingan politik kelompok tertentu yang memanfaatkan isu-isu agama yang sedang marak saat itu.
Salah satu upaya yang dilakukan dalam proses rekonsiliasi adalah dengan melihat kembali nilai-nilai adat Hibualamo. Hal ini terbukti memberikan kontribusi besar bagi terwujudnya rekonsiliasi diantara kedua pihak yang bertikai. Dalam waktu yang relatif singkat para pengungsi dari beberapa wilayah sudah bisa kembali ke kampung halamannya tanpa harus menunggu program pemulangan pengungsi dari pemerintah.
Positifnya, identitas adat masyarakat Hibualamo kembali mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat Halmahera Utara. "Ngone oria dodoto" (bahasa Tobelo) dan "ngone oria de ogia nongoru" (bahasa Galela) yang berarti kita semua bersaudara kembali ditempatkan sebagai lambang kerukunan dan persatuan masyarakat.
Berkaca dari konflik Halmahera Utara ada dua hal yang dapat dipelajari yakni pertama, ketika konflik terjadi, masing-masing pihak yang bertikai tidak lagi berada dalam posisinya sebagai masyarakat adat dengan identitas budaya yang sama namun agama yang berbeda. Kedua, konflik ini menjadikan identitas kesatuan semakin mendapat perhatian dari semua pihak yang menginginkan rekonsiliasi dan menjadi semakin kuat pengaruhnya dalam masyarakat.
Hotuuu.... Yeeeee.....
Masih segar dalam ingatan pekikan salam pembuka dari Bupati Halmahera Utara, Ir. Hein Namotemo, MSP pada saat memberikan sambutan pada acara peringatan hari masyarakat adat sedunia pada Selasa, 9 Agustus 2011 dengan yel-yel "HOTUUUUUUU...!" dan kemudian dijawab oleh para undangan dengan teriakan "YEEEEE...!".
Saya kira semua orang pasti merasa merinding bulu kuduknya pada saat mendengar pekikan "Hotuuu... Yeee...", yel-yel yang selama ini sudah dijadikan salam pembukaan dalam berbagai pertemuan untuk orang Tobelo.
Yel-yel "Hotuuuu... Yeeee..." sebenarnya merupakan yel-yel heroik yang dahulu diucapkan pada saat berlangsungnya upacara canga (pergi berperang) yang berarti menyatakan siap memberikan taruhan darah (membunuh atau dibunuh) dalam peperangan. Saat ini, yel-yel tersebut lebih digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain sebagai salam pembukaan atau salam penutupan dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh banyak orang.
Meskipun makna yel-yel tersebut adalah sama bagi orang Tobelo dan Galela, tetapi dalam prakteknya terdapat perbedaan dalam pengucapannya. Menurut Jesaya Banari, dikalangan suku Tobelo ada yang meneriakannya dengan "HO TUUUU...!", "O TUUUU...!", bahkan "O TUUUU...!". Sementara di Galela orang mengucapkannya dengan "A TUUUU...!".
Perbedaan pengucapan ini ternyata terjadi secara tidak disadari selama ini, sehingga kemudian muncul pertanyaan yel-yel manakah yang benar? Apakah Ho Tuuuu, Wo Tuuuu, O Tuuuu ataukah A Tuuuu? Atau...?
Dari beberapa pernyataan diatas dapat dijelaskan bahwa perbedaan terjadi pada pernyataan awal yaitu pada kata Ho, Wo, O dan A. Sedangkan pernyataan "Yeee..." yang merupakan pernyataan pengakuan oleh yang hadir adalah sama. Untuk mengetahui perbedaan tersebut maka kita perlu mendudukkan pemahaman kita mengenai dalam konteks apa yel-yel tersebut diucapkan dan apa sesungguhnya makna dari yel-yel tersebut?
Menurut Jesaya Banari, salah satu tokoh adat di Tobelo, menjelaskan bahwa berdasarkan pengalaman dalam praktek berkehidupan masyarakat Tobelo-Galela, yel-yel "... Tuuuu" dan dijawab dengan "Yeeee", biasanya diucapkan dalam beberapa kesempatan, antara lain:
- Pada saat orang memberikan sambutan sebagai salam pembuka.
- Pada saat sesuatu kesepakatan dicapai dan merupakan pernyataan persetujuan atas hasil kesepakatan tersebut.
- Pada saat memulai suatu pekerjaan yang melibatkan banyak orang dan merupakan pernyataan kesepakatan untuk bersama-sama menyelesaikan pekerjaan tersebut sampai selesai.
- Pada saat melaksanakan pesta adat yang biasanya diiringi dengan tarian perang cakalela didahului dengan pekikan "... Tuuu Yeee".
- Pada saat melepaskan orang pergi berperang melawan musuh (canga) sebagai pernyataan siap menghadapi musuh tanpa kenal menyerah dan darah menjadi taruhannya.
Oleh karena yel-yel "... tuuu Yeee" sebenarnya merupakan yel-yel heroik maka yel-yel ini sesungguhnya merupakan pernyataan berperang dari seseorang pemimpin yang kemudian didukung oleh rakyatnya lewat pekikan "Yeeee".
No comments:
Post a Comment