Semua selalu berkaca pada sejarah! Entah itu gerakan sosial, cinta, persahabatan dan sebagai-nya. Sejarah merupakan elemen utama ketika membicarakan masa kini dan masa depan. Ketika terputus saat membicarakan masa kini tanpa menengok ke belakang tentang sejarah, maka yang terjadi adalah pembelokan makna dan arti. Tidak ada yang bisa menyangkal tentang arti penting sebuah sejarah. Dapat dikatakan juga bahwa, uraian diatas akan mengundang sinisme dari pihak lain, dengan asumsi, bahwa apa yang diuraikan adalah penjelasan dungu.
Namun kontradiksi dari ungkapan dungu-lah yang selanjutnya memunculkan kata cerdas. Cerdas dalam berpikir yang selalu merujuk pada sejarah untuk memulai sebuah gerakan, baik gerakan otak maupun jasmani.
Dengan medium fenomena sosial, akan lahir sebuah ide untuk memberi arah pada fenomena-fenomena sosial yang lahir dari sistem dominan. Disinilah kecerdasan untuk melakukan penilaian dan berbuat, karena yang namanya fenomena penuh dengan ilusi dan manipulatif. Jika salah dalam menilai, maka akan gagal dalam bertindak. Itu yang kini menyerang berbagai kelompok-kelompok gerakan sosial, dengan berbagai faktor yang melingkarinya, gerakan sosial selalu gagal dalam pencapaian akhir dari cita-citanya dengan berbagai strategi taktik yang dikembangkan-nya. Namun, disinilah dituntut kekuatan mental, kekuatan keyakinan berlandaskan pada keniscayaan.
Jika tidak, dunia gerakan sosial akan lesu darah dan mati! Mati ditengah-tengah penderitaan rakyat yang membutuhkan pertolongan. Jangan sampai hal itu terjadi.
Krisis demi krisis yang menghampiri negara kita, merupakan sebuah momentum untuk merengkuh simpati dan dukungan massa rakyat. Tapi itu tidak terjadi. Mengapa? Sebuah pertanyaan yang harus dikembalikan pada sejarah yang membentuk karakter masyarakat Indonesia. Tradisi perlawanan rakyat yang menggelora pada fase-fase sebelumnya, tidak satu pun yang berakhir pada kemenangan. Semuanya berakhir pada kegagalan, malah kegagalan itu selalu berakhir di tiang gantungan, di ujung bedil dan lokasi-lokasi pembuangan. Banyak fakta yang membeberkan hal itu. Inilah model perlawanan yang menonjolkan sosok pemimpin kharismatik yang khas dalam sistem masyarakat agraris dan feodal. Ketika perlawanan harus padam ketika pemimpin-nya diciduk dan mati diujung-ujung bedil musuh. Namun ada beberapa perlawanan yang dapat dikatakan sebagai bentuk antitesa dari model perlawanan diatas, yakni pemberontakan petani tahun 1926, yang menggunakan strategi taktik perlawanan kolektif. Walaupun kemudian perlawanan ini padam karena timbulnya perpecahan internal, yang dipicu oleh perbedaan pandangan mengenai waktu untuk melakukan insureksi.
Perpindahan fase dari masyarakat feodal ke masyarakat kapitalis di Indonesia berlangsung damai, karena sebenarnya terjadi kolaborasi antara para penguasa feodal dengan kaum kolonial. Sehingga dapat dikatakan, terciptanya masyarakat kapitalis Indonesia merupakan hasil stek/cangkokan dari sistem kolonial yang anti demokrasi. Tidak ada perlawanan rakyat untuk menggulingkan serta menghancurkan feodalisme, tidak ada darah dan keringat yang bercucuran. Jika ingin diperbandingkan, lihat sejarah penggulingan feodalisme di Perancis, rakyat dan kaum berjuasi kecil bersatu dan menyeret para bangsawan dan tuan-tuan feodal ke tiang gantungan. Rezim aristokrat dibumihanguskan tak tersisa. Hancur lebur! Sejarah perlawanan penuh darah ini yang membentuk karakter masyarakata perancis dan eropa keseluruhan, menjadi masyarakat yang kritis dan penuh gejolak perlawanan terhadap sistem yang menindas.
Dari arena sejarah tentang tradisi perlawanan rakyat itu, dapat dilihat bagaimana potensi perlawanan rakyat Indonesia saat ini. Namun sejarah itu bukan sesuatu yang rigid dan tidak bisa diubah. Semuanya bisa dirubah, diinovasi dan digerakkan sesuai dengan cita-cita perubahan sosial. Semua punya potensi, lihat gerakan mei 98, begitu juga dengan gelora perlawanan diberbagai daerah. Tugas pelaku gerakan sosial adalah menyimpulkan semua berbagai gelora perlawanan rakyat dalam satu rangkaian tali perlawanan. Tidak bisa terpisah-pisah dan berseraka. Semua harus disatukan dalam sebuah wadah persatuan. Wadah itu mengalami eskalasi turun naik dalam upaya realisasinya. Namun yang terpenting dan utama adalah, keinginan bersatu sudah ada, tinggal menegosiasikan masing-masing kepentingan atas upaya persatuan gerakan itu. Ini yang penting! Kepentingan masing-masing harus diakomodasikan untuk mengikis semua fragmentasi. Maka, yang namanya persatuan gerakan adalah KENISCAYAAN!!
Sekian dulu tulisan yang bisa dikategorikan dungu ini.
Namun kontradiksi dari ungkapan dungu-lah yang selanjutnya memunculkan kata cerdas. Cerdas dalam berpikir yang selalu merujuk pada sejarah untuk memulai sebuah gerakan, baik gerakan otak maupun jasmani.
Dengan medium fenomena sosial, akan lahir sebuah ide untuk memberi arah pada fenomena-fenomena sosial yang lahir dari sistem dominan. Disinilah kecerdasan untuk melakukan penilaian dan berbuat, karena yang namanya fenomena penuh dengan ilusi dan manipulatif. Jika salah dalam menilai, maka akan gagal dalam bertindak. Itu yang kini menyerang berbagai kelompok-kelompok gerakan sosial, dengan berbagai faktor yang melingkarinya, gerakan sosial selalu gagal dalam pencapaian akhir dari cita-citanya dengan berbagai strategi taktik yang dikembangkan-nya. Namun, disinilah dituntut kekuatan mental, kekuatan keyakinan berlandaskan pada keniscayaan.
Jika tidak, dunia gerakan sosial akan lesu darah dan mati! Mati ditengah-tengah penderitaan rakyat yang membutuhkan pertolongan. Jangan sampai hal itu terjadi.
Krisis demi krisis yang menghampiri negara kita, merupakan sebuah momentum untuk merengkuh simpati dan dukungan massa rakyat. Tapi itu tidak terjadi. Mengapa? Sebuah pertanyaan yang harus dikembalikan pada sejarah yang membentuk karakter masyarakat Indonesia. Tradisi perlawanan rakyat yang menggelora pada fase-fase sebelumnya, tidak satu pun yang berakhir pada kemenangan. Semuanya berakhir pada kegagalan, malah kegagalan itu selalu berakhir di tiang gantungan, di ujung bedil dan lokasi-lokasi pembuangan. Banyak fakta yang membeberkan hal itu. Inilah model perlawanan yang menonjolkan sosok pemimpin kharismatik yang khas dalam sistem masyarakat agraris dan feodal. Ketika perlawanan harus padam ketika pemimpin-nya diciduk dan mati diujung-ujung bedil musuh. Namun ada beberapa perlawanan yang dapat dikatakan sebagai bentuk antitesa dari model perlawanan diatas, yakni pemberontakan petani tahun 1926, yang menggunakan strategi taktik perlawanan kolektif. Walaupun kemudian perlawanan ini padam karena timbulnya perpecahan internal, yang dipicu oleh perbedaan pandangan mengenai waktu untuk melakukan insureksi.
Perpindahan fase dari masyarakat feodal ke masyarakat kapitalis di Indonesia berlangsung damai, karena sebenarnya terjadi kolaborasi antara para penguasa feodal dengan kaum kolonial. Sehingga dapat dikatakan, terciptanya masyarakat kapitalis Indonesia merupakan hasil stek/cangkokan dari sistem kolonial yang anti demokrasi. Tidak ada perlawanan rakyat untuk menggulingkan serta menghancurkan feodalisme, tidak ada darah dan keringat yang bercucuran. Jika ingin diperbandingkan, lihat sejarah penggulingan feodalisme di Perancis, rakyat dan kaum berjuasi kecil bersatu dan menyeret para bangsawan dan tuan-tuan feodal ke tiang gantungan. Rezim aristokrat dibumihanguskan tak tersisa. Hancur lebur! Sejarah perlawanan penuh darah ini yang membentuk karakter masyarakata perancis dan eropa keseluruhan, menjadi masyarakat yang kritis dan penuh gejolak perlawanan terhadap sistem yang menindas.
Dari arena sejarah tentang tradisi perlawanan rakyat itu, dapat dilihat bagaimana potensi perlawanan rakyat Indonesia saat ini. Namun sejarah itu bukan sesuatu yang rigid dan tidak bisa diubah. Semuanya bisa dirubah, diinovasi dan digerakkan sesuai dengan cita-cita perubahan sosial. Semua punya potensi, lihat gerakan mei 98, begitu juga dengan gelora perlawanan diberbagai daerah. Tugas pelaku gerakan sosial adalah menyimpulkan semua berbagai gelora perlawanan rakyat dalam satu rangkaian tali perlawanan. Tidak bisa terpisah-pisah dan berseraka. Semua harus disatukan dalam sebuah wadah persatuan. Wadah itu mengalami eskalasi turun naik dalam upaya realisasinya. Namun yang terpenting dan utama adalah, keinginan bersatu sudah ada, tinggal menegosiasikan masing-masing kepentingan atas upaya persatuan gerakan itu. Ini yang penting! Kepentingan masing-masing harus diakomodasikan untuk mengikis semua fragmentasi. Maka, yang namanya persatuan gerakan adalah KENISCAYAAN!!
Sekian dulu tulisan yang bisa dikategorikan dungu ini.
No comments:
Post a Comment