Sebelum pelaksanaan Rapat Kerja Dewan Nasional AMAN di Boladangko, April lalu, AMAN menyelenggarakan seminar “Masyarakat Adat sebagai Basis Politik Gerakan Sosial Indonesia: Antara Prasyarat, Potensi dan Cita-Cita. Pengangkatan tema tersebut tidak lepas dari pentingnya organisasi AMAN untuk merumuskan keberadaannya. Keberadaan AMAN itu sendiri adalah alat perjuangan bagi masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan atas hak dan eksistensi masyarakat adat.
Perlu perjuangan dan kesabaran untuk mencapainya. Untuk menuju perubahan tersebut, baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya, bisa diwujudkan melalui gerakan sosial.
Gerakan Sosial di Indonesia
Pada hakikatnya, gerakan sosial merupakan jawaban spontan maupun terorganisir dari massa rakyat terhadap negara yang mengabaikan hak-hak rakyat, yang ditandai oleh penggunaan cara-cara yang bertentangan atau diluar institusi yang ada. Melihat sejarah gerakan sosial di Indonesia, pendapat Peter Burke tentang tipe-tipe gerakan sosial cukup relevan untuk dikaitkan dengan perkembangan gerakan sosial di Indonesia. Peter Burke, seorang sosiolog dari Amerika menyebutkan ada dua tipe gerakan sosial. Pertama, gerakan sosial untuk memulai perubahan. Kedua, gerakan sosial yang dilakukan sebagai reaksi atas perubahan yang terjadi. Bila direlevansikan dengan kasus di Indonesia, bahwa pada masa revolusi kemerdekaan (tepatnya sebelum 1966), mobilisasi gerakan sosial mengarah pada pemberian dukungan terhadap legitimasi negara yang baru berdiri. Sedangkan pasca 1966, gerakan yang terjadi lebih mengarah pada kritik atau reaksi terhadap kebijakan negara, seperti peristiwa Malari, Kedung Ombo, Tanjung Priok, Gerakan Reformasi 1998, dan sebagainya. Dan, sebenarnya masih cukup banyak pendapat pakar-pakar ilmu sosial tentang diskursus gerakan sosial, yang relevan secara praksis dengan perkembangan gerakan sosial di Indonesia.
Tradisi gerakan sosial di Indonesia dapat dikategorikan cukup kuat dan mengakar. Lihat sejarah gerakan perlawanan rakyat Indonesia yang sudah dimulai pada masa kolonialisme belanda sampai sekarang, era Neoliberalisme atau Globalisasi. Gerakan tani, buruh, pemuda dan mahasiswa telah menghiasi catatan sejarah gerakan sosial Indonesia. Lihat bagaimana militannya perlawanan kaum tani terhadap kolonialisme Belanda pada tahun 1926 walaupun dapat dipatahkan, kemudian perjuangan bawah tanah para pemuda melawan fasisme Jepang pada masa revolusi kemerdekaan, lihat juga bagaimana perjuangan kaum buruh menuntut nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing. Dan masih banyak lagi berbagai perlawanan dari masing-masing sektor gerakan sosial Indonesia, termasuk “sang fenomena” yang dalam lima dekade menjadi buah bibir gerakan sosial yakni Gerakan Mahasiswa. Gerakan kaum intelektual ini turut berjasa dalam berbagai aspek, dari proses demokratisasi sampai menghadirkan rezim totaliter. Masih terekam jelas dalam memori rakyat Indonesia saat terjadi mobilisasi gerakan mahasiswa tahun 1966 guna menggulung rezim orde lama Soekarno. Kemudian menghadirkan rezim orde baru yang lebih otoriter dan militeristik dengan sang tiran Soeharto, dengan menjadikan kaum kiri sebagai korban untuk dibantai, dibuang, dikucilkan dari pergaulan masyarakat, dan berbagai stigmatisasi serta cap-cap sosial lainnya. Komunitas-komunitas adat turut menjadi korban kebuasan rezim orde baru tersebut, saat hukum-hukum adat dilangkahi dengan merampas secara paksa tanah-tanah adat untuk kebutuhan perluasan investasi. Kebijakan-kebijakan yang menegasikan hak-hak ulayat digulirkan secara paksa dengan menerapkan UU No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Nagari di Sumatera Barat, Ngata di Sulawesi Tengah, Huta di Tapanuli dan lainnya harus diseragamkan melalui struktur pemerintahan desa.
Sampai tiba masa keruntuhannya, kediktatoran rezim orde baru beserta sang penguasanya Soeharto pun akhirnya digulingkan pada 1998. Kembali mahasiswa yang menjadi pelopornya, tapi kali ini dengan melibatkan elemen rakyat yang lebih luas. Orde Reformasi hadir menggantikan rezim orde baru, tapi apakah persoalan-persoalan rakyat juga turut selesai? Apakah persoalan perluasan akses masyarakat adat terhadap pengelolaan sumber daya alam juga diselesaikan? Dari tiga pemerintahan pasca Soeharto, hanya pada pemerintahan Gus dur yang relatif akomodatif terhadap tuntutan komunitas-komunitas adat dengan lahirnya TAP MPR No IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Tapi pemerintahan Gus dur hanya berjalan efektif 1 tahun, kemudian digulingkan oleh konspirasi elit sisa-sisa orde baru, reformis gadungan dan militer.
Terobosan yang dilakukan oleh pemerintahan Gus dur ternyata dipatahkan oleh pemerintahan Megawati yang mereproduksi model kebijakan rezim orde baru. Bukannya membawa rakyat keluar dari krisis malah semakin membenamkan rakyat ke dalam jurang kemiskinan. Dengan membudak pada lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, kebijakan Structural Adjusment Programme (SAP) atau yang lebih dikenal dengan program penyesuaian struktural, yang tercantum dalam Letter of Intent (LoI) pun diterapkan. Dampak paling nyata dan dirasakan mencekik rakyat dari penerapan kebijakan SAP tersebut adalah pemotongan berbagai bentuk subsidi-subsidi rakyat, yang berujung pada melonjaknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan menjadi pemicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok rakyat. Di komunitas-komunitas adat, penetrasi modal yang berimplikasi pada penghancuran kearifan-kearifan lokal berjalan mulus tak terbendung. Kawasan-kawasan konservasi pun diberikan ke perusahaan-perusahaan tambang raksasa untuk dieksploitasi SDA yang terkandung didalamnya walaupun resikonya menghancurkan daya dukung lingkungan. Dengan alasan meningkatkan pendapatan negara, kebijakan yang menghancurkan tersebut dibungkus dengan produk hukum dalam bentuk Perpu No I/2004.
Tahap-tahap Perjuangan Menuju Kemenangan
Penderitaan dan ketidakadilan yang dialami masyarakat adat bukanlah sesuatu yang mekanis dan tidak berdialektis. Gerak sejarah perkembangan masyarakat telah mencatat itu, dari fase komunal primitif ke kapitalisme merupakan sebuah dialektika, bagaimana kontradiksi-kontradiksi dari tiap fase perkembangan masyarakat bersintesa ke formulasi baru. Demikian juga dengan penindasan terhadap masyarakat adat sebagai sebuah kontradiksi dari fase masyarakat kapitalisme akan bersintesa ke bentuk yang baru juga, yakni terwujudnya kedaulatan hak masyarakat adat. Indikasinya dapat dilihat dari merebaknya perlawanan komunitas-komunitas adat terhadap negara yang menjalankan praktek ketidakadilan. Walaupun, perlawanan yang dikibarkan masih dalam ranah perjuangan normatif atau ekonomis. Belum melangkah lebih jauh ke tahap perjuangan yang lebih tinggi, yakni perjuangan politik. Namun, pelan tapi pasti mesin AMAN sebagai kenderaan perjuangan mulai bergerak ke arah sana. Di mulai dengan pencalonan beberapa anggota AMAN sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah di beberapa propinsi. Memang hasilnya belum sesuai dengan apa yang diharapkan, jika mengacu pada perolehan kursi DPD yang gagal diraih.
Selain persoalan diatas, gerakan masyarakat adat sebagai basis gerakan sosial masih terbelah berdasarkan latar belakang dan kepentingan yang menyertainya. Menurut George J. Aditjondro bahwa gerakan masyarakat adat terbagi dalam tiga bentuk. Pertama, gerakan yang timbul secara spontan. Contohnya untuk meraih kehidupan yang lebih baik, banyak anggota masyarakat adat yang menempuh pendidikan ke kota. Ini menimbulkan urbanisasi dan kemiskinan di daerah asal, karena bisa saja ada tanah yang dijual sebagai modal untuk sekolah atau modal sogok untuk menjadi pegawai negeri; Kedua, gerakan yang dikoordinir oleh pemerintah. Gerakan seperti ini timbul karena penguasa ingin mendulang suara lewat Pemilu dan mengurangi perlawanan anti ekspansi modal (perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam). Disisi lain, tokoh adat menggunakan legitimasi tersebut untuk kepentingan bisnis; Ketiga, gerakan yang memberdayakan masyarakat adat untuk mempertahankan hak-hak atas pengelolaan sumber daya alam.
Lantas, kemana arah gerakan yang akan dilakukan masyarakat adat yang berhimpun dalam AMAN? Secara organisatoris, AMAN telah merumuskan visi misi yang menjadi penuntun arah geraknya. Tapi, penjabaran dalam konteks kerja praktis guna memperbesar dan perluasan gerakan masyarakat adat perlu dipertegas kembali. Ini penting untuk dirumuskan berkaitan dengan konstelasi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang selalu bergerak secara dinamis.
Membangun Kekuatan Lewat Program Kerja
Melihat titik sebaran komunitas-komunitas adat di Indonesia, Masyarakat adat sebenarnyalah mempunyai potensi besar dan signifikan dalam mempengaruhi konstalasi dan dinamika dalam berbangsa dan bernegara. Dan sudah saatnya, masyarakat adat menjadi basis politik gerakan sosial di Indonesia, setelah peta gerakan sosial didominasi oleh gerakan kaum intelektual.
Sebagai langkah awal pembangunan gerakan sosial yang berbasiskan masyarakat adat, AMAN telah melakukan konsolidasi organisasi melalui Rapat Kerja Dewan AMAN di Boladangko Kulawi Sulawesi Tengah. Melihat hasil RAKER tersebut, dapat disimpulkan bahwa gerakan sosial yang dibangun AMAN akan dikonsentrasikan berdasarkan teritori dengan struktur region. Ada 5 region yang dibentuk, meliputi : Region Jawa, Region Sumatera, Region Sulawesi, Region Kalimantan dan Region Bali/NTT/NTB/Papua. Dengan struktur region, diharapkan akan memperpendek komunikasi dan mempermudah konsolidasi organisasi dimana Sekretariat Nasional berfungsi sebagai jembatan untuk pertukaran informasi antar region.
Program kerja 1 tahun disusun berdasarkan situasi atau kondisi subyektif organisasi dan obyektif di masing-masing teritori/region. Dari seluruh rangkaian program kerja yang disusun, tepat mengarah pada penguatan organisasi sesuai dengan harapan menjadikan masyarakat adat sebagai basis politik gerakan sosial. Penguatan kelembagaan, kampanye, pendidikan politik dan beberapa program lainnya menjadi desain besar program kerja di masing-masing region.
Program kerja yang dirumuskan pada RAKER tersebut sangat ideal guna melawan ancaman monster yang bernama Neoliberalisme atau Globalisasi. Karena, peran negara yang dibuntungi pada era globalisasi membuat invasi modal berhadapan langsung dengan rakyat. Kalau tidak segera dibangun sebuah benteng yang kokoh, alamat rakyat akan menjadi budak atau terusir dari tanah sendiri. Benteng kokoh dibangun dengan program kerja yang telah dirumuskan dalam RAKER. Disamping itu, menjadi sangat penting untuk segera mencari sekutu-sekutu gerakan masyarakat adat di masing-masing tingkatan. Buruh, Petani, Mahasiswa, Pemuda yang selama ini terhisap dan tertindas harus dijadikan sekutu gerakan. Aliansi multisektoral akan semakin menguatkan gerakan rakyat untuk menyusun dan menciptakan gagasan-gagasan perubahan. Tujuannya agar masyarakat adat dan sektor rakyat lainnya mempunyai posisi tawar yang kuat untuk mengusung agenda-agendanya berhadapan dengan pasar dan negara. Jika posisi tawar kuat, kepentingan-kepentingan masyarakat adat akan diakomodir dalam setiap kebijakan yang ada, artinya cita-cita akan pengakuan pasti bisa diwujudkan.
No comments:
Post a Comment