Tanja Joona
Tuntutan masyarakat adat untuk “menentukan nasib sendiri” (self-determination) menyuguhkan tantangan baru bagi kedaulatan Negara. Tekanan masyarakat internasional membuat negara harus mempertimbangkan kembali hubungannya dengan masyarakat adat yang menempati wilayah negara tersebut dan mengakui hak asal-usul mereka. Artikel ini akan melihat lebih jauh substansi Konvensi ILO No 169/1989, langkah, serta pilihan-pilihan yang diambil Finlandia dalam proses menuju pengakuan hak asal-usul dan peratifikasian Konvensi tersebut.
Konvensi ILO No 169 merupakan konvensi multilateral yang ditujukan untuk masyarakat adat. Konvensi ini menggantikan Konvensi No 107/1957 tentang Perlindungan dan Integrasi Masyarakat Adat dan Populasi Suku dan Semi Suku Bangsa Lainnya di Negara-Negara Merdeka. Konvensi ini bersifat mengikat bagi negara yang meratifikasinya dan tidak terbuka lagi untuk ratifikasi baru. Konvensi ILO No 169 dianggap sebagai tanda berubahnya pandangan ILO (Organisasi Buruh Internasional) atas masyarakat adat dan suku bangsa asli, walau tidak luput dari kritikan. Perlindungan masih menjadi obyek utama dalam Konvensi itu. Hanya saja berdasar pada penghormatan terhadap kultur, tradisi dan kebiasaan masyarakat adat dan suku bangsa asli.
Prinsip dasar Konvensi No 169, masyarakat adat harus menikmati segala bentuk pemenuhan HAM dan kebebasan tanpa kesulitan dan diskriminasi. Negara-negara yang meratifikasi Konvensi diwajibkan untuk membangun instrumen untuk mempromosikan hak ekonomi, sosial dan melindungi nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakat adat. Pemerintah juga diwajibkan untuk menghormati kepentingan masyarakat adat atas nilai-nilai budaya dan spiritual yang berkaitan dengan tanah dan wilayah adat, terutama dilihat dari aspek kolektif (Pasal 13). Utamanya, Negara harus mengakui hak kepemilikan dan penguasaan masyarakat adat atas tanah yang secara turun-temurun telah mereka tempati. Untuk itu, pemerintah harus mengupayakan bagaimana melindungi hak-hak masyarakat adat dalam memanfaatkan/menggunakan wilayah adat sebagai tempat tinggal maupun untuk keperluan hidup (subsisten) dan kegiatan tradisional lainnya (Pasal 14). Sedangkan pasal 15 mengatur soal hak masyarakat adat atas sumber daya alam dari wilayah adatnya. Termasuk didalamnya hak partisipatif dan hak berpartisipasi dalam mendapatkan keuntungan dari ekploitasi sumber daya alam. Untuk pelaksanaannya, harus dipertimbangkan keberagaman situasi dari masyarakat adat itu sendiri. Misalnya sifat dasar dan cakupan tindakan yang akan diambil hendaknya ditentukan dengan cara yang luwes, mempertimbangkan keadaan yang khas dari masing-masing negara (Pasal 34).
Ratifikasi sebuah konvensi internasional merupakan kedaulatan dan tindakan sukarela dari sebuah negara. Dengan ratifikasi itu, pemerintah menyetujui untuk terikat dengan isi pasal-pasalnya. Ini merupakan proses awal dialog dan kerjasama antara pemerintah dan ILO. Tujuannya untuk memastikan bahwa aturan hukum nasional dan prakteknya menyetujui ketetapan-ketetapan dari konvensi. Sampai saat ini, empatbelas negara telah meratifikasi Konvensi 169. Tiga diantaranya adalah negara-negara Eropa (Norwegia, Denmark, dan Belanda) dan selebihnya adalah negara-negara Amerika Latin.
Berkenaan dengan hak atas tanah, Finlandia dan Swedia menghadapi kendala yakni kenyataan legislasi internal (hukum nasional). Tahun 1990, Norwegia sudah meratifikasi konvensi ini karena hak Orang Saami untuk menggunakan tanah negara cukup memenuhi persyaratan pasal 13 dan 14. Baru-baru ini Norwegia menerbitkan rencana undang-undang (legislasi) baru dengan model kepemilikan yang berbeda. Sedangkan Swedia sedang mengarah untuk meratifikasinya. Sven Heurgren, seorang pelapor khusus PBB untuk isu masyarakat adat, menjelaskan situasi hukum dalam sebuah laporan lengkap tahun 1999. Tampaknya Finlandia dan Swedia berniat untuk mengatasi isu hak-hak atas tanah dengan mengkoreksi hukum/legislasi nasional yang ada sebelum meratifikasi konvensi.
Masyarakat Adat Saami
Jumlah populasi Orang Saami di wilayah utara Fennoscandia dan Tanjung (Peninsula) Kola diperkirakan sekitar 100.000 jiwa dan sekitar 7,500 jiwa di Finlandia. Mereka yang berada di Finlandia, Swedia, dan Norwegia memilih badan perwakilan, Parlemen Saami. Parlemen ini sebagai penasehat pemerintah nasional. Calon anggota parlemen adalah orang Saami yang merasa sebagai Saami dan mempelajari bahasa Saami sebagai bahasa ibu. Minimal, salah satu orang tua atau kakek/neneknya (di Norwegia bahkan sampai buyut) adalah orang Saami. Di Undang-Undang Finlandia mengenai Parlemen Saami, istilah Saami merujuk pada keturunan orang yang tinggal di wilayah adat, perpajakan atau kependudukan, gunung, hutan atau perairan orang Lapp. Lapp adalah sebutan untuk orang Saami di Swedia atau Finlandia; yang berasal dari Bahasa Saami dan sudah digunakan sejak tahun 1950-an.
Di Finlandia, hak-hak Orang Saami sangat terbatas. Aturan hukum tidak mengakui hak-hak orang Saami yang berkaitan dengan kehidupan tradisional mereka: penggembalaan rusa kutub, memancing dan berburu. UU juga tidak berbicara banyak mengenai pemanfaatan wilayah tradisional mereka (daratan dan perairan). Padahal 90 persen daratan di wilayah utara Finlandia merupakan tanah leluhur orang Saami yang sekarang ini dikuasai dan dimiliki oleh negara. Sedangkan sisanya adalah kepemilikan pribadi. Akhir 1980-an, muncul informasi baru tentang sejarah hak atas tanah orang Saami yang memberikan titik terang. Lewat disertasi, Dr. Kaisa Korpijaako menyatakan bahwa orang Saami mempunyai kepemilikan tanah/daratan dan perairan di wilayah utara Swedia-Finlandia sejak abad 17 dan awal abad 18. Komite konstitusi Parlemen Finlandia juga merujuk pada kemungkinan yang sama tahun 1990. Di tahun 1990, untuk meperjelas situasinya, komite negara menyarankan perubahan undang-undang--hanya saja berakhir tanpa hasil. Tahun 1993, Delegasi Saami (cikal bakal Parlemen Saami) diberi tugas untuk memperjelas hak-hak orang Saami kemudian diteruskan kepada Parlemen Saami yang sekarang.
Karena pencerahan itu, akhir tahun 1990 an pemerintah Finlandia mulai memperjelas posisi hak-hak Orang Saami. Hanya saja pemerintah ingin menyelesaikan masalah ini melalui konsensus politik dan membentuk organ birokrasi baru untuk mengatur daerah utara, yang statusnya tetap menjadi wilayah penguasaan negara. Tentu saja upaya itu tidak mendapat persetujuan dari Orang Saami. Kemudian, berdasarkan beberapa laporan hasil kerja komite, tahun 2003 Menteri Kehakiman menunjuk sebuah kelompok penelitian ilmiah untuk meneliti sejarah dan posisi hukum tanah-tanah negara. Situasi dan proses ratifikasi Konvensi ILO no.169 sejak 1999 akan dijelaskan sebagai berikut.
Laporan dari pelapor istimewa Dr. Pekka Vihervuori
Tahun 1999 Menteri Kehakiman mengundang Dr. Pekka Vihervuori, seorang ahli hukum, untuk mempersiapkan sebuah laporan yang menjelaskan isu-isu tanah, perairan, sumber daya alam, dan kehidupan tradisional orang Saami di wilayah adatnya. Awalnya, tujuan laporan ini tidak menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan kepemilikan tanah. Laporan tersebut memfokuskan pada kewajiban Konvensi ILO dikaitkan dengan isi hukum nasional dan pelaksanaannya. Laporan itu merekomendasikan perubahan hukum mengenai pemanfaatan lahan (tata guna lahan), tidak menyarankan apakah Finlandia sebaiknya meratifikasi Konvensi ILO atau tidak.
Rekomendasi lainnya adalah membentuk Dewan Hak-hak Tanah untuk Wilayah Adat Saami yang berkoordinasi dengan Parlemen Saami. Parlemen mencalonkan empat orang dan empat orang lainnya dicalonkan oleh empat kabupaten (Pemda) di wilayah adat orang Saami sebagai anggota Dewan. Anggota-anggota ini akan memilih ketua. Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak melalui pemungutan suara. Jika voting dalam posisi imbang maka ketua yang akan mengambil keputusan. Para pelapor yang bertugas mempersiapkan catatan dan usulan-usulan untuk keputusan Dewan, dipilih oleh Parlemen Saami. Dalam pelaksanaannya, orang Saami mempunyai peran utama dalam Dewan Hak-hak Tanah. Dewan ini menjaga penghormatan hak-hak dan kepentingan Orang Saami dan penduduk lokal lainnya yang berkaitan dengan pemanfaatan tanah dan air di wilayah adat Saami. Dewan mempunyai hak untuk berbicara dan menyerukan perkara-perkara mengenai penerapan aturan hukum pemanfaatan tanah dan air/perairan.
Pelapor juga mengusulkan sebuah Dana Hak Tanah, yang diatur oleh Dewan Hak-hak Tanah. Dana berasal dari Dewan Kehutanan Nasional, Lembaga Penelitian Kehutanan, dan Kantor Real Estat Negara yang dihasilkan dari kegiatan mereka di wilayah adat Orang Saami. Fungsinya untuk pengembangan kehidupan, memperbaiki kerusakan lingkungan, dan mempromosikan kepentingan Orang Saami. Antara sepertiga sampai setengah dari dana tersebut diteruskan ke Parlemen Saami dan paling tidak sepertiganya untuk kabupaten-kabupaten di wilayah adat Orang Saami.
Pengenalan akan keragaman hak-hak dan batasannya, mengubah aturan perundang-undangan tentang pemanfaatan lahan dan sumber daya alam. Wilayah peternakan Rusa Kutub dibagi menjadi dua bagian. Di wilayah adat Orang Saami, tingkat kerusakan yang diijinkan akibat peternakan rusa kutub akan lebih sedikit dibandingkan daerah lain yang mengijinkan kerusakan asalkan tidak melampaui ‘kerusakan minor’. Di sebuah wilayah yang mempunyai asosiasi penggembalaan rusa kutub yang beranggotakan paling sedikit setengahnya adalah Orang Saami, hak untuk menggembala rusa kutub diberikan kepada Orang Saami dan juga pemilik rusa kutub lainnya yang tinggal di wilayah tersebut. Pelapor menuai kritik karena tidak menjabarkan arti “kerusakan minor” dalam praktek.
Pendapat Ahli oleh Dr. Juhani Wirilander dan laporan oleh Komisi Masyarakat Saami.
Menteri Kehakiman meminta masukan dari 57 lembaga, termasuk Parlemen Saami, Pemerintah Daerah, Kementerian, Badan Kehutanan Nasional, dan lain-lain atas laporan Vihervuori itu. Lembaga-lembaga tersebut memberikan sudut pandang yang berbeda, mulai dari sangat negatif sampai positif. Banyak yang mengusulkan agar laporan tersebut ditindaklanjuti. Menteri Kehakiman akhirnya memutuskan perlu ada persiapan sebelum Finlandia meratifikasi Konvensi ILO no 169/1989. November 2001, Menteri Kehakiman menunjuk pelapor baru, Dr Juhani Wirilander seorang ahli Hukum, untuk membuat penilaian hukum mengenai kepemilikan tanah di wilayah adat Orang Saami dari sudut pandang undang-undang perumahan.
Secara bersamaan, Menteri Kehakiman menunjuk Komisi Saami untuk menilai apakah rekomendasi Dr. Vihervuori perlu dilaksanakan atau mengubahnya? Komisi Saami mengusulkan agar kriteria minimum Konvensi ILO dipenuhi. Menteri Kehakiman menunjuk Gubernur Propinsi Lapland, Hannele Pokka, sebagai ketua Komisi Saami.
Sedangkan Juhani Wirilander menyatakan tidak ada bukti bahwa desa-desa Lapp telah dihuni secara turun-temurun sejak pertengahan abad 18. Padahal ada sebuah keluarga yang mempunyai bukti kepemilikan wilayah istimewa tersebut untuk memancing, berburu, dan penggembalaan di pertengahan abad 18. Komisi Saami mengusulkan agar kepemilikan tanah tetap berada dalam Negara Finlandia dengan membentuk Direktorat Tanah Wilayah Adat Saami. Ketua Direktorat dipilih oleh pemerintah Finlandia dengan komposisi 5 orang anggota dipilih Parlemen Saami dan 5 lagi dipilih oleh pemerintah daerah. Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak. Direktorat ini berwenang memutuskan hal-hal yang mengatur pemanfaatan tanah negara di wilayah adat Orang Saami. Usulan tersebut menuai tentangan termasuk dari Orang Saami yang tidak mau menjalankan usulan tersebut.
Draft Rancangan Undang-undang pemerintah
Walau mendapat tentangan, Menteri Kehakiman tetap melanjutkan ide pembuatan Undang-Undang melalui Komite Pertimbangan Wilayah Adat Orang Saami tahun 2002. Dua kemungkinan pilihan yang disarankan adalah:
- Sama dengan usulan dari Komisi Saami
- 12 anggota: Sama seperti di atas tetapi satu orang anggota tambahan yang dipilih asosiasi penggembala rusa kutub dari wilayah Saami. Dua pertiga suara akan menjadi keputusan.
Kedua usulan ini menuai komentar kritis dari banyak pihak, termasuk Parlemen Saami. Mereka mengajukan tuntutan untuk melakukan penelitian substansi sejarah hukum berdasarkan keluasan wilayah dan kerangka waktu untuk memperjelas perkembangan sejarah dan hukum yang tidak jelas. Dengan demikian, Menteri Kehakiman terpaksa ‘mengubur’ draftnya.
Proyek Penelitian Sejarah dan Hukum
Kritikan bernuansa negatif atas laporan Vihervuori dan Komisi Saami, “memaksa” Menteri Kehakiman untuk mendanai proyek penelitian tentang sejarah dan hukum terutama berkaitan dengan pemukiman, sejarah kependudukan, penggunaan dan kepemilikan lahan Orang Saami. Proyek itu dilaksanakan awal 2003 dengan tujuan untuk menjelaskan:
1) Situasi legal hak pemanfaatan lahan dan kepemilikan tanah
2) Perkembangan sejarah setelah pemukim dari Finlandia tiba di Lapland
3) Perkembangan sejarah mengenai posisi gunung dan hutan Orang Saami.
Periode penelitian antara tahun 1750-an sampai 1923. Materinya tentang peraturan, putusan pengadilan, bahan-bahan perpajakan, materi administratif (keputusan Gubernur, pejabat perpajakan...); koresponden pejabat-pejabat, dan keputusan tentang pembukaan tanah pertanian oleh para pendatang. Para peneliti terdiri dari ahli-ahli Universitas Oulu (Sejarah) dan Universitas Lapland (Hukum). Penelitian ini dilaksanakan selama 2 tahun dan hasilnya menjadi pertimbangan peratifikasian Konvensi ILO no 169.
Catatan Kesimpulan
Persoalan kepemilikan tanah di Finlandia menjadi cukup rumit karena hak tersebut dicantelkan dalam pemilihan Parlemen Saami. Sayangnya, tidak semua orang ingin terdaftar dalam pemilihan Parlemen Saami, meskipun jika mereka memenuhi syarat. Tapi tidak berarti orang tersebut tidak dapat mempunyai hak asal-usul terhadap tanah dan air di wilayah Lapland menurut Undang-undang perumahan. Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana mendefinisikan orang adat (Indigenous Person)? Sulitnya, Konvensi ILO no 169 tidak mendefinisikan siapa itu orang adat. Konvensi ini hanya merupakan instrumen yang menitikberatkan pada isu kolektif. Persoalan ini menjadi semakin sulit dengan adanya persyaratan yang tertuang dalam Pasal 1.2. Dalam pasal itu, pengenalan diri (self-identification) seharusnya dipandang sebagai syarat yang fundamental untuk menentukan suatu kelompok menurut ketentuan yang berlaku dalam konvensi.
Karena situasi hukum yang tidak jelas, muncul dua pertanyaan: siapakah subyek dari Konvensi dan wilayah mana yang perlu diidentifikasi (Pasal 14.2)? Dua pertanyaan tersebut juga sedang dikaji di Swedia. Selain itu juga sangat beralasan untuk mempertanyakan apakah rekomendasi (Vihervuori dan Komisi Saami) yang sudah dijalankan di Finlandia akan memenuhi persyaratan seperti yang diatur dalam Konvensi ILO? Pertanyaan lainnya yang muncul di Norwegia dan Swedia adalah apakah sudah cukup perlindungan yang kuat terhadap hak penggunaan lahan ketika pengakuan kepemilikan dan penguasaan juga menjadi pertimbangan (Pasal 14.1)? Seperti disebutkan di atas, masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan terbuka yang masih perlu diselesaikan. Ratifikasi Konvensi Internasional tidak seharusnya menjadi nilai yang mutlak. Ia merupakan tanda akhir untuk hak-hak yang telah terpenuhi.
Akhirnya, solusi yang direncanakan di Finlandia mempunyai tujuan dan pandangan ethno-politik. Membangun sebuah instrumen politik yang baru dengan wakil-wakil dari masyarakat adat dan masyarakat lokal tidak sepenuhnya menandakan perlindungan terhadap praktek-praktek kehidupan tradisional di wilayah tersebut. Keterbatasan persiapan dari perangkat hukum menjadi sebuah refleksi bahwa tidak ada diskusi atau tinjauan tentang definisi dan konsep mengenai hak atas tanah yang terdapat dalam Konvensi ILO no 169 terutama di Finlandia.
No comments:
Post a Comment