Pendahuluan
Dekade Internasional Untuk Masyarakat Adat Sedunia yang ditetapkan oleh PBB pada tahun 1995 akan segera berakhir tahun 2004 ini. Dicanangkannya Dekade Masyarakat Adat ini merupakan wujud kepekaan PBB terhadap realitas sosial, khususnya masyarakat adat di seluruh dunia yang secara intens memperjuangkan hak mereka; hak-hak yang merupakan keseluruhan entitas masyarakat adat, baik entitas budaya, hukum maupun religi. Dicanangkannya dekade ini sekaligus juga merupakan respons yang posiyif, mengingat diberbagai belahan dunia, masyarakat adat semakin mampu menunjukkan identitasnya tetapi di sisi lain hak-hak dasar mereka tercabik-cabik oleh berbagai kebijakan politik negara yang tidak partisipatif dan tidak akomodatif terhadap kepentingan masyarakat adat.
Pada tataran yang lebih luas, pemberlakuan Dekade Internasional Untuk Masyarakat Adat Sedunia oleh PBB merupakan kebijakan yang sarat muatan ideologi. Dekade yang dimulai tahun 1995 ini diarahkan unutk tercapainya suatu deklarasi universal tentang masyarakat adat yang mengusung perspektif HAM yang bersifat kolektif, yang dipercaya akan mampu mengimbangi perspektif HAM yang bersifat individual yang diperjuangkan negara-negara industri maju – perspektif HAM yang selama ini dominan dan terbukti justru sangat memiskinkan nilai-nilai dasar kemanusiaan – di sinilah letak muatan ideologi yang hendak diperjuangkan.
Jalan Menuju Deklarasi
Berbagai upaya selama dekade ini berlangsung, sebagaimana disebutkan di muka, diarahkan untuk tercapainya suatu Deklarasi Universal Untuk Masyarakat Adat, yang walaupun tidak mengikat secara hukum dan karena itu pemerintah suatu negara tidak mempunyai kewajiban hukum, tetapi dipercaya mempunyai kekuatan moral yang besar yang merupakan kunci pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat adat di tingkat internasional maupun tingkat nasional/ negara.
Pada Tingkat Internasional.
Perjuangan untuk pengakuan terhadap masyarakat adat pada tingkat internasional, sebelum dekade ini dicanangkan, paling tidak dimulai ketika pada tahun 1920-an seorang pemimpin masyarakat adat Iroquoi menghadap LBB di Jenewa dan menceritakan keadaan masyarakat Kanada sekaligus meminta mediasi dari LBB terhadap konflik berkepanjangan antara masyarakat adat dengan pemerintah. Setelah LBB berubah menjadi PBB pada tahun 1946, banyak upaya yang dilakukan untuk menindaklanjuti inisiatif tersebut, salah satunya pada tahun 1948 keytika pemerintahan Bolivia mengusulkan untuk membentuk sebuah sub komisi yang bertugas mempelajari masalah-masalah sosial masyarakat asli. Sayangnya inisiatif tersebut gagal. Pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, bangkitlah gerakan gerakan masyarakat adat di berbagai negara dalam skala yang besar dan dibentuklah organisasi-organisasi masyarakat adat mulai dari tingkat lokal, nasional, regional maupun internasional.
Upaya di tingkat internasional lebih ditujukan untuk mendapat dukungan dari PBB. Upaya tersebut berhasil mendapat dukungan dari berbagai ornop dan pakar-pakar independentyang pada akhirnya berhasil mendapatkan komitmen dari Sub Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities (sekarang berubah menjadi Sub Commission on The Promotion and Pritection of Human Rights) untuk secara resmi mempertimbangkan dan memperhatikan masalah-masalah masyarakat adat. Pada 1972 ECOSOC memberi wewenang kepada sub komisi tersebut untuk melakukan studi khusus berkenaan dengan diskriminasi terhadap masyarakat-masyarakat adat. Studi tersebut diawali dengan penunjukan Jose Martinez Cobo untuk melakukan penelitian antara tahun 1972 sampai 1984. Sementara studi tersebut berlangsung, pada tahun 1977 dilangsungkan sebuah konferensi di Jenewa yaitu “NGO conference Discrimination of Indigenous Population in America”. Salah satu rekomendasi terpenting dari konferensi ini adalah pembentukan working group yang berada di bawah Sub Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities. Pada tahun 1981 sub komisi merekomendasikan bahwa Komisi Hak Asasi Manusia (Commission on Human Rights) harus membentuk sebuah working group. Pada tahun 1982 ECOSOC memberikan wewenang kepada sub komisi tersebut untuk membentuk Working Group dimaksud. Working group ini ditempatkan sebagai organ subsider bagi sub komisi. Sub komisi ini mempunyai dua tugas utama yaitu:
- Meninjau hal-hal yang berkaitan dengan peningkatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar masyarakat adat.
- Memberikan perhatian khusus pada perubahan-peruahan dalam instrumen-instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat.
Selain kedua tugas utama tersebut, working group juga memfasilitasi dan mendorong dialog antara pemerintah dengan masyarakat adat. Salah satu capaian dari Working Group on Indigenous Population adalah perumusan Draft Deklarasi Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat yang dimulai pada tahun 1985. Teks akhir draft deklarasi tersebut disahkan pada tahun 1993 oleh working group tersebut dan diterima oleh Sub Commission on The Promotion and Protection of Human Rights (sebagai perubahan dari Sub Commissionon on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities). Pada tahun 1995, Commission on Human Rights mempertimbangkan draft tersebut dan memutuskan untuk membentuk intersessional working group dengan mandat mempertimbangkan draft tersebut dan mengajukannya kepada general assembly.
Untuk menindaklanjuti draft deklarasi tersebut, Commission on Human Rights membentuk kelompok kerja yang khusus menangani draft tersebut yaitu: Working Group on The Draft Declaration of The Rights of Indigenous Peoples”. Tugas utama working group ini adalah meneruskan pembahasan tentang draft deklarasi tersebut dan mengajukannya kepada general asembly untuk diperiksa dan disahkan dalam kurun wktu yang telah ditetapkan sebagai Dekade Internasional Untuk Masyarakat Adat Sedunia (1995 – 2004). Tujuan penetapan dekade ini adalah untuk memperkuat kerjasama internasional dalam rangka memecahkan pelbagai permasalahan yang dialami oleh masyarakat adat berkenaan dengan HAM, lingkungan, pembangunan, kesehatan, kebudayaan dan pendidikan. Program-program kegiatan yang dicanagkan oleh general assembly untuk mencapai tujuan dengan dicanangkannya dekade masyarakat adat adalah :
a. Diterimanya draft deklarasi on The Rights of Indigenous Peoples.
b. Pembentukan permanent forum on Indigenous Issues di dalam sistem PBB.
Permanent forum tersebut dibentuk pada Juli 2000 dengan resolusi yang dikeluarkan ECOSOC. Kendati permanent forum tersebut disambut dengan antusias oleh berbagai pihak dan dikomentari sebagi sebuah langkah maju, namun sayangnya sasaran lain dari diberlakukannya dekade internasional untuk masyarakat adat sedunia tidak menunjukkan tanda-tanda sukses; yaitu tentang belum selesainya pembahasan draft deklarasi, padahal tahun 2004 ini merupakan tahun terakhir dari dekade internasional untuk masyarakat adat tersebut.
Persoalan mendasar yang membuat tertatih-tatihnya pembahasan draft deklarasi tersebut adalah karena adanya suatu perbedaan yang sangat mendasar antara kelompok-kelompok masyarakat adat yang terlibat aktif dalam pembahasan draft deklarasi tersebut. Kelompok-kelompok tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
- No changes Position, yang menginginkan agar draft deklarasi yang ada sekarang ini disahkan sebagai deklarasi PBB tanpa perubahan apa-apa. Kelompok ini menolak menggunakan kata-kata “And Individuals” setelah “Indigenous Peoples”.
- Open for Negosiation, yang menginginkan agar menggunakan kata “And Individuals” setelah “Indigenous Peoples”.
Konteks Indonesia
Jauh sebelum dicanangkannya Dekade Internasional Untuk Masyarakat Adat Sedunia, masyarakat adat di Indonesia sebetulnya sudah mulai melakukan perjuangan untuk mendapatkan pengakuan terhadap hak-hak mereka oleh negara. Sebagai salah satu contoh; masyarakat adat BPRPI di Sumatera Utara sudah melakukan perlawanan terhadap pengambilan tanah mereka oleh pihak lain sejak tahun 1953. Contoh tersebut setidaknya mengindikasikan bahwa masyarakat adat di Indonesia sudah melakukan perjuangan jauh sebelum ditetapkannya dekade internasional untuk masyarakat adat oleh PBB maupun sebelum mereka beraliansi menjadi AMAN.
Perjuangan-perjuangan mereka semakin menguat dan mulai menggugah ketika mereka pada tahun 1999 membentuk suatu aliansi yang disebut AMAN dan sekaligus diadakanlah Kongres Nasional I yang melahirkan sebuah pernyataan yang telah membuatnya dikenal secara luas di tingkat internasional, “Kalau Negara Tidak Mengakui Kami, Kamipun Tidak Mengakui Negara”. Sedemikian kuatnya gaung tuntutan “pengakuan” terhadap masyarakat adat menjadikannya issue utama bagi masyarakat adat itu sendiri untuk berjuang mendapatkan kembali penguasaan atas tanah, kehidupan dan nasib mereka sendiri. Dalam berbagai kesempatan sesudah kongres pertamanya, AMAN terus menyuarakan tuntutan-tuntutannya termasuk tuntutan pembaharuan hukum, dan kebijakan negara agar melinungi:
1. Hak atas tanah.
2. Penguasaan atas sumber daya alam.
3. Penghormatan atas sistem adat dan identitas budaya.
4. Pengurusan diri sendiri melalui kelembagaan adat.
5. Pengakuan atas hukum adat.
Salah satu hal yang menonjol yang pernah dilakukan AMAN adalah Lokakarya Peradilan Adat yang diselenggarakan di Bogor pada tahun 2002. Lokakarya ini diselenggarakan ketika sistem peradilan nasionl mengalami kemerosotan yang tajam. Kondisi ini mendorong masyarakat mulai meninjau kembali sistem peradilan adat. Dari lokakarya tersebut ditemukan bahwa pada beberapa wilayah adat pernah ada sistem peradilan adat dan bahkan di beberapa wilayah adat lainnya sistem peradilan adat masih hidup dan dipraktekkan. Satu hal yang pasti bahwa jika peradilan adat dipandang sebagai jalan keluar dari kemerosotan sistem peradilan nasional, maka yang harus dilakukan adalah membangun pondasi yang kokoh agar ke depan, sistem peradilan adat ini memiliki legitimasi yang kuat.
Sementara masyarakat adat terus melakukan perjuangan; negara di sisi yang lain, entah tergugah oleh perjuangan masyarakat adat dalam negeri atau karena dicanangkannya suatu dekade untuk masyarakat adat sedunia oleh PBB, mulai mengakui keberadaan masyarakat adat di Indonesia. Sejak tahun 1998, pengaturan mengenai masyarakat adat dapat dengan mudah ditemui dalam berbagai produk hukum (undang-undang),antara lain: UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Bahkan sejumlah RUU sedang dipersiapkan dan beberapa diantaranya menunggu ditandatangani oleh presiden, yang di dalamnya juga terdapat beberapa ketentuan yang mengatur atau berhubungan dengan masyarakat adat. Akan tetapi secara garis besar negara mengakui keberadaan masyarakat adat yang tercermin dalam berbagai produk hukum yang dihasilkan, sepanjang: 1) dalam kenyataannya masih ada, 2) selaras dengan perkembangan jaman, 3) sesuai dengan kepentingan nasional, 4) dikukuhkan dengan Perda. Jadi dengan kata lain, masyarakat adat diakui apabila memenuhi keempat kriteria tersebut. Inilah gaya pengakuan terhadap masyarakat adat oleh pemerintah pasca orde baru yang oleh Ricardo Simarmata dikatakan sebagi pengakuan bersyarat yang berlapis dan tidak memiliki perbedaan mendasar dengan dengan gaya pengakuan terhadap masyarakat adat oleh pemerintahan orde baru dan masih merupakan cerminan dari arus utama pandangan dunia terhadap masyarakat adat hingga kini.
Yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana negara menaggapi dekade internasional untuk masyarakat adat . Ketika masyarakat adat berjuang mendapatkan pengakuan dari negara, mereka pada saat yang sama mendapatkan ketidakadilan dari negara. Banyak peristiwa yang mengindikasikan bahwa walaupun di sejumlah Undang- undang negara telah mulai mengakui hak-hak masyarakat adat, tetapi sesungguhnya negara sama sekali tidak rela menyerahkan urusan yang menyangkut “kekayaan” kepada masyarakat itu sendiri.Tewasnya beberapa orang anggota masyarakat adat Manggara, aksi masyarakat pulau Sebuku di Kalimantan Selatan, aksi masyarakat adat BPRPI di Sumatera Utara merupakan betapa kepala batunya Pemerintah (negara) menanggapi issu masyarakat adat.
Sementaraa itu, dekade internasional untuk masyarakat adat sedunia semakin dekat ke penghujungnya. Deklarasi universal tentang hak masyarakat adat yang merupakan target utama dicanangkannya dekade ini, yang dipercaya mempunyai kekuatan memaksa negara secara moral untuk tunduk pada deklarasi tersebut belum juga tuntas. Nasib masyarakat adat selaian tergantung pada perjuangan mereka sendiri juga mengharapkan deklarasi itu segera dikumandangkan. Lalu bagaimana nasib masyarakat adat di Indonesia?, apakah menunggu deklarasi tersebut dengan diam sembari rela menerima tindakan-tindakan represif dari negara ataukah turut berperan aktif dalam pembahasan akhir draft deklarasi tersebut, sembari terus melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang diterima disamping upaya penguatan organisasi?
Penentuan Sikap AMAN
Menyikapi berakhirnya dekade internasional untuk masyarakat adat sedunia di tahun 2004 ini, AMAN sebagai suatu organisasi harus dapat menentukan sikap; mengikuti dua kelompok utama masyarakat adat yang terlibat dalam pembahasan draft deklarasi tersebut. No changes position atau open for negosiation. Pilihan ini tidak mudah; tidak sekedar memilih a atau b. Setiap pilihan selalu mengandung konsekuensi di kemudian hari. Dengan fakta bahwa dua kelompok masyarakat adat yang terlibat dalam pembahasan draft deklarasi tersebut belum menemukan kata sepakat tentang beberapa hal penting seperti penggunaan kata “and individuals” di belakang “indigenous Peoples”, mengisyaratkan bahwa kelompok-kelompok masyarakat adat tersebut mengusung suatu kepentingan besar. Pilihan manapun akan sangat mewarnai konsep “hak” masyarakat adat di kemudian hari dan mempengaruhi pula perumusannya dalam instrumen-instrumen hukum baik internasional maupun nasional atau negara.
AMAN harus melihat kecenderungan sebagian besar anggotanya dan bagaimana pandangan mereka tentang hak. Akhirnya, menentukan posisi adalah suatu pilihan yang sulit, tetapi ketetapan hati untuk memilih adalah suatu langkah maju.
No comments:
Post a Comment