Program-Program Prioritas Parlemen dan Pemerintahan Baru di Sektor Perkebunan dan Kehutanan
Pemilu legislatif
baru saja usai. Pesta “demokrasi” ini menjadi momentum tepat menciptakan
pemerintahan pro rakyat dan lingkungan. Seharusnya, pemilu legislatif ini
menjadi titik balik untuk menyelamatkan kawasan hutan tersisa dari jarahan
pemilik modal besar. Masa depan rakyat dan hutan sedang dipertaruhkan.
Selama lima
tahun terakhir, pemerintah dan DPR dapat dikatakan gagal dalam melestarikan
kawasan hutan. Luas kawasan hutan berkurang drastis karena keluarnya izin-izin
konversi kawasan hutan untuk perkebunan sawit. Reforma agraria yang
dikampanyekan Susilo Bambang Yudhoyono saat kampanye Pilpres tak dijalankan.
Reforma Agraria malah diartikan sebagai bagi-bagi tanah kepada para pemodal,
bukan buat rakyat. Faktanya bisa dilihat dari trend kepemilikan tanah dimana
terjadi kosentrasi kepemilikan tanah secara massif ke segelintir pemilik modal.
Salah satu
sektor yang berkontribusi besar atas penghancuran hutan dan lingkungan adalah
sektor perkebunan sawit. Perjalanan sektor perkebunan sawit ini penting untuk
diperbincangkan seiring terjadinya berbagai letupan kasus lingkungan dan
konflik agraria dalam 5 tahun terakhir. Ada beragam topik yang lazim muncul
dalam perdebatan mengenai sawit, antara lain problem lingkungan dan konflik
lahan.
Problem
lingkungan biasanya terkait karakter sawit yang monokultur dan menuntut lahan
massif. Kebun sawit tidak seperti hutan tropis alami yang memberi ruang atas
keragaman makhluk untuk hidup di ekosistem yang sama. Demi hasil panen yang
maksimum, makhluk hidup lain tak boleh ada di areal kebun sawit. Beberapa
perusahaan bahkan melakukan jurus ekstrem untuk memurnikan kebun sawit yakni
dengan memburu serta membantai monyet, gajah, ular dan orang utan. Satwa-satwa
ini dianggap hama sehingga harus dimusnahkan untuk memaksimalkan hasil panen. Bahkan
pihak perusahaan sawit dengan keji melibatkan masyarakat untuk memburu
satwa-satwa yang dilindungi tersebut. Pihak perusahaan akan membayar penduduk
yang berhasil menangkap satwa. Padahal satwa tersebut adalah penghuni kawasan
hutan yang digusur untuk kepentingan perkebunan sawit.
Selain
itu, konflik lahan juga sangat marak terjadi dalam 5 tahun terakhir. Inilah
persoalan kronis, yang menumpuk dan menumpuk selama puluhan tahun, yang siap
meledak di ratusan titik di wilayah Indonesia. Data olahan Sawit Watch
menunjukkan bahwa kurang lebih sekitar 396 komunitas berkonflik dengan perusahaan perkebunan di 8
provinsi. Konflik terjadi umumnya karena tumpang tindih kepemilikan lahan
antara izin konsesi perusahaan dengan wilayah kelola rakyat. Sementara
itu data KPA memperlihatkan dalam dua periode kepemimpinan SBY, konflik agraria
cenderung mengalami peningkatan. Sepanjang 2013, KPA mencatat 369 konflik
agraria dengan luasan lahan mencapai 1. 281.660.09 hektar melibatkan 139.874
keluarga. Konflik perkebunan di peringkat teratas dengan 180 kasus (48,78%),
disusul infrastruktur 105 kasus (28,46%), pertambangan 38 (10,3%), kehutanan 31
(8,4%), pesisir kelautan 9 (2,44%) dan lain-lain enama kasus (1,63%). Jadi,
setiap hari terjadi lebih dari satu konflik agraria melibatkan 383 keluarga
atau 1.532 jiwa dengan luasan wilayah sekiar 3.512 hektar.
Sektor kehutanan,
area konflik agraria terluas sekitar 545.258 hektar disusul perkebunan
527.939,27 hektar dan pertambangan 197.365,90 hektar. Dibandingkan 2012, ada
peningkatan areal konflik 318.248,89 atau naik 33,03 persen. Dari sisi jumlah
kasus naik 198 atau 86,36 persen.
Selama lima
tahun terakhir (2009-2013) terjadi peningkatan konflik sebanyak 314% atau tiga
kali lipat jika dibandingkan 2009. Areal konflik meningkat drastis
mencapai 861% dan keluarga terlibat konflik naik tajam sebesar 1.744%.
Pada masa orde
baru, kegelisahan petani dalam sengketa lahan nyaris tak pernah naik ke
permukaan. Hal ini disebabkan pendekatan represif rezim Soeharto dalam meredam
perlawanan rakyat. Mobilisasi pasukan tentara disertai dengan ancaman terror
dan intimidasi cukup efektif dalam membungkam suara-suara kritis di akar
rumput. Penjara dengan tuduhan subversif atau makar adalah senjata ampuh rezin
orde baru untuk meredam perlawanan rakyat.
Orde baru
runtuh, rakyat Indonesia menyongsong orde reformasi. Cara represif mulai
ditinggalkan, rakyat mulai mengorgansir diri menjajal daya tawar ke pemerintah,
dan menuntut hak. Dan bagaikan bara api dalam sekam, sengketa kepemilikan lahan
ini siap menjadi bahan bakar utama yang memaksa rakyat berhadapan dengan
perusahaan dan aparat keamanan.
Konflik lahan
kian menjadi karena pemerintah dan DPR tak melirik UUPA 1960 sebagai solusi
penyelesaian konflik lahan. UUPA adalah satu-satunya perundangan yang mengatur
pertanahan. Setengah abad berlalu sejak UUPA disahkan, pemerintah dan para
politisi di gedung DPR tidak juga menempatkan persoalan agraria sebagai agenda
legislasi dengan urgensi tinggi. Sebuah paradoks getir di negeri yang katanya
negeri agraris.
Rezim SBY
hanya menggunakan isu reforma agraria sebagai komoditi politik untuk menggalang
dukungan terkait pencapresan dirinya. Tak ada tindakan konkrit dan nyata untuk melakukan
reforma agraria. Letupan demi letupan terkait dengan konflik lahan antara
masyarakat dengan perkebunan sawit berlangsung. Contohnya adalah kasus Mesuji
dan Suku Anak Dalam di Jambi.
Nah, sejauh
UUPA belum tergantikan, ada baiknya para legislator yang baru terpilih pada
pileg 2014 merujuk kembali spirit utama dalam produk legislasi tersebut. UUPA
jelas menyebutkan batasan kepemilikan lahan, ketentuan Hak Guna Usaha, hak
pakai, hak ulayat dan hak memungut hasil hutan. Semangat reformasi dan perlindungan
pada rakyat jelas terasa dalam UUPA. Adalah tugas parlemen dan pemerintah untuk
secara serius membuat revisi perundangan dan turunannya secara jelas mengatur
teknis kepemilikan tanah, air dan udara seperti dimaksud UUPA.
Moratorium Hutan dan Gambut Langkah Momen Pembenahan
Dari berbagai kompleksitas
pengelolaan hutan, ternyata masih ada warisan pemerintahan SBY yang patut di
apresiasi terkait dengan pengelolaan hutan, yakni kebijakan Moratorium Hutan. Setelah
dihantam banyak pihak terkait persoalan sosial, lingkungan dan pemanasan global
yang muncul akibat penggunaan
lahan, perubahan peruntukan lahan, hutan, rezim SBY
pun merespons tuntutan tadi dengan melakukan perbaikan terkait pengelolaan
hutan. Khusus di sektor sawit, tekanan banyak pihak terhadap pengelolaan kebun
yang amburadul bahkan sampai mendapatkan sanksi berupa pemutusan kontrak oleh
pembelinya.
Menghadapi semua tekanan itu,
Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhono (SBY), pada tahun 2009 di
Pittsburg, Amerika Serikat, mengumumkan komitmen Indonesia menurunkan emisi gas
rumah kaca (GRK) sebesar 26%. Bila mendapat dukungan dari negara-negara lain,
angka penurunan tadi masih bisa ditingkatkan hingga 41%.
Demi mewujudkan tekad itu,
pemerintahan SBY membuat serangkaian kebijakan dan program pengurangan emisi.
Setidaknya ada satu hal yang dilakukan yakni penerbitan Instruksi Presiden
(Inpres) No.10 Tahun 2011 tentang Moratorium (Penundaan) Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, pada bulan
Mei 2011. Kemudian Inpres ini diperpanjang hingga tahun 2015. Dalam instruksi
itu disebutkan soal moratorium izin baru konsesi hutan primer dan lahan gambut
selama dua tahun, kecuali di sektor minyak dan gas, geothermal, padi dan tebu. Juga
disebutkan, terbitnya satu peta indikatif hutan Indonesia.
Dengan penghentian sementara perizinan
selama itu, banyak ahli memperkirakan Indonesia setidaknya menyelamatkan 64
juta ha sisa hutannya. Selain itu banyak pihak juga optimis bahwa dalam kurun
waktu 2 tahun, pemerintah akan memiliki waktu yang cukup untuk memperbaiki
sistem pengelolaan hutan.
Secara implisit Instruksi
Presiden itu jelas mensyaratkan penghentian ekspansi perkebunan kelapa sawit selama
dua tahun. Merasa dirugikan, Inpres tersebut langsung diprotes Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Bagi penulis, moratorium ini merupakan
awal positif dan harus dijadikan moment bagi perbaikan mekanisme dan manajemen
perkebunan sawit. Juga merupakan waktu yang tepat bagi penegakan hukum terkait
penyelanggaraan perkebunan sawit. Ini warisan kebijakan yang harus
dipertahankan oleh pemimpin Indonesia baru yang terpilih dalam Pilpres 2014.
Program Prioritas Menata Ruang
Selain melanjutkan inpres
tersebut di atas, anggota parlemen dan pemerintahan baru terpilih harus turut
menyelesaikan persoalan penataan ruang. Di dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang
penataan ruang itu disebutkan beberapa hal pokok soal perencanaan dan pengaturan
wilayah demi penentuan arah pembangunan Indonesia yang memperhatikan
pertambahan penduduk dan daya dukung alam. Salah satu bagian penting yang
tertulis dalam UU tersebut adalah penyediaan ruang konservasi (lindung) di
setiap wilayah yang besarannya mencapai 30% dari luas suatu kawasan itu. Artinya
harus segera dibuat rencana tata ruang wilayah secara nasional sebagai rencana
induk (master plan). UU inilah yang seharusnya menjadi UU payung bagi
penyelesaian semua konflik keruangan dan juga dasar dari pembangunan
berkelanjutan di Indonesia.
Persoalan tata ruang ini
harus menjadi prioritas penguasa baru Indonesia. Jika tidak, maka benturan
pasti akan terjadi yang berujung pada konflik. Penyelesaian penataan ruang ini
untuk mengantisipasi benturan sebagai berikut:
Pertumbuhan
penduduk vs Ketersediaan Pangan.
Tingkat
kelahiran yang masih tergolong tinggi
dan faktor migrasi penduduk dari wilayah lain ke suatu wilayah tertentu
dipastikan akan menyebabkanketidakseimbangan ketersediaan pangan dan kebutuhan
orang yang mengonsumsinya.
Pengangguran
vs lapangan pekerjaan.
Tingkat
pengangguran yang semakin meningkat sepanjang tahun 2008 akibat krisis global
membuat banyak tenaga kerja kembali ke
kampung asal mengadu nasib dengan bertani/kebun sekedarnya. Kepulangan para pekerja ini diyakini
memunculkan benturan, baik dengan
perusahaan atau dengan pengelola kawasan konservasi, karena kelompok buruh ini
juga membutuhkan lahan garapan setelah terkenan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
Pemenuhan
kebutuhan dasar vs krisis air dan
energy.
Penyempitan
areal pertanian akibat konversi lahan menjadi perkebunan monokultur skala besar
menyebabkan sumber Air untuk kebutuhan hidup rumah tangga dan energy mengalami penurunan kualitas dan
kuantitas.
Kebutuhan
lahan antara masyarakat vs dunia usaha.
Kebijakan
pemerintah yang terus memacu pertumbuhan ekonomi makro dengan memberikan
kemudahan-kemudahan bagi dunia bisnis untuk berinvestasi menyebabkan sebagian
besar lahan-lahan produktif dikuasai
dunia bisnis (Perkebunan, HTI, Migas).
Perambahan
besar-besaran terhadap kawasan konservasi atau lindung
Dampak
langsung penyempitan lahan kelola masyarakat menyebabkan kawasan-kawasan
konservasi atau lindung menjadi terancam karena menjadi sasaran ekspansi
pertanian/perkebunan masyarakat juga dunia industry. Selain konflik antar
manusia, konflik dengan satwa juga semakin tinggi dan rentan terhadap bencana
alam.
Menurut hemat penulis, untuk
mengantisipasi potensi konflik besar di atas, setidaknya ada beberapa
kementerian yang mesti duduk bersama membangun sinegisitas dalam pembuatan tata
ruang wilayah nasional tersebut. Tentu saja dibutuhkan niat, kerja keras dan
yang kuat antar dan inter kementerian tadi dalam pembuatan tata ruang nasional.
Khusus
di sektor perkebunan sawit, penulis sangat berkeyakinan bahwa pembuatan dan
penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang dimulai dari tingkat wilayah
dan pemerintahan terendah sampai tertinggi, terutama bupati, akan membuat
aparat pemerintah (khususnya yang berkordinasi dibawah kementerian dalam
negeri) akan lebih berhati-hati dalam memberikan ijin lokasi kepada dunia usaha
di wilayah kekuasaannya. Apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran
terhadap tata ruang tersebut, maka dia bisa dikenakan sanksi pidana dan
perdata.
Selama
ini ketiadaan peta tata ruang Kabupaten, Provinsi dan Nasional menyebabkan mutu, cara pemanfaatan dan pengendalian
ruang yang tersambung dengan daya dukung keruangan itu sendiri membuat pola
pembangunan dan pengelolaan negeri ini karut-marut. Selain itu, benturan
kepentingan sektoral di internal pemerintah menyebabkan kaburnya substansi pengendalian
pembangunan. Juga tak terselesaikannya berbagai masalah- masalah yang di
seputar keruangan.
Setelah
menyelesaikan pembuatan perencanaan tata ruang wilayah nasional di atas, tugas lanjutan
bagi parlemen dan pemerintahan baru adalah segera membuat peraturan teknis terkait
pelaksanaan dan pengawasan jalannya UU tersebut, sebagaimana yang telah
diamanatkannya. Hal ini sangat penting dan mendesak demi menghindari multitafsir
dan kebingungan di masyarakat soal hak dan kewajibaan berkenaan dengan penataan
ruang.
Penerapan Kajian Lingkungan Hidup
Strategis
Setelah
membuat dan melakukan sinergisitas terkait Penataan Ruang, hal strategis yang
harus segera dilakukan parlemen dan pemerintahan baru terpilih adalah
menerapkan pelaksanaan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. UU baru dinilai banyak pihak sudah cukup lengkap dengan
segala prasyarat lingkungan terhadap model pembangunan dan pengembangan atas
satu kawasan berikut sanksi hukumnya.
Di
pengantar UU No. 32 Tahun 2009 ini disebutkan bahwa hal yang dipertimbangkan
sehingga peraturan hukum ini mesti segera diimplementasikan adalah:
1. Lingkungan
hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia
2. Pembangunan
ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan.
3. Semangat
otonomi daerah telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah
dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
4. kualitas
lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya sehingga perlu dilakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguhsungguh dan konsisten
oleh semua pemangku kepentingan;
5. Pemanasan
global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga
memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
6. agar lebih
menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang
untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari
perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.
Demi
pencapaian banyak hal di atas, UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup jelas-jelas mensyaratkan dilakukan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang sangat mendukung dan bertalian erat
dengan UU No.27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Namun UU ini
harus diperkuat dengan aturan tegas yang membatasi jumlah perusahaan yang
beroperasi. Karena sejak UU ini diberlakukan, tidak ada aturan dalam KLHS yang membatasi
berapa banyak perusahaan skala besar yang berbasis lahan boleh ada dalam satu kabupaten.
Hal ini, harus diatur dengan jelas agar pembukaan lahan bagi perusahaan besar
bisa ditekan.
Jika merujuk
pada persoalan di atas, sudah saatnya parlemen dan pemerintah baru mengubah paradigm
tentang hutan. Tantangan wakil rakyat yang terpilih adalah mengubah paradigma
tidak menjadikan hutan sebagai sumberdaya yang dikeruk habis-habisan. Juga pembenahan
managemen hutan yang saat ini tidak efektif. Pemimpin terpilih harus mengubah
manajemen pengelolaan hutan agar lebih baik dari yang dijalankan Kemenhut saat
ini.
Selama ini, hutan
dianggap sebagai penggerak mesin uang kalangan politisi. Mereka membentuk
rantai korupsi dan kolusi dengan pengusaha industri ekstraktif yang merusak dan
mengeruk kekayaan alam tanpa mempedulikan kelestarian. Kerusakan alam karena
salah kelola imbas dari kebijakan politik tak pro lingkungan. Persoalan hutan
harus masuk ke dalam ranah politik. Hal itu penting, karena masalah hutan
sangat serius. Pada 1960-an, eksploitasi hutan sebagai sumber penggerak
ekonomi. Ketika masuk era reformasi, sudah tidak lagi mengikuti rezim
itu. Namun masih belum juga membuat pengelolaan hutan yang baik menjadi
agenda utama pemerintah. Hutan Indonesia, yang tersisa tinggal sedikit.
Sebagian besar, sudah diberikan izin pengelolaannya kepada swasta maupun
asing. Hutan berubah menjadi perkebunan sawit, tambang dan lain-lain. Selamat
bekerja.
No comments:
Post a Comment