Orang Togian Tersingkir Dari Lautnya Yang Kaya (1)
Pada 2012, saya berkesempatan menjadi kontributor sebagai penulis dalam buku mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Buku ini adalah kumpulan tulisan dari beberapa aktivis masyarakat adat nusantara.
Buku ini memotret proses perjalanan dan dampak-dampak terhadap program Penyiapan Masyarakat Adat Menghadapi Mitigasi dan
Adaptasi Perubahan Iklim. Program
ini dilaksanakan di lima wilayah adat, yakni di Negeri
Haruku-Maluku, Karang Bajo-NTB, Togian-Sulawesi Tengah, Kasepuhan Cisitu-Banten
dan Enggano-Bengkulu.
Untuk mendapatkan buku tersebut, silahkan kontak AMAN dan atau bisa mengirimkan email ke rumahaman@cbn.net.id
Berikut adalah tulisan sumbangan saya. Tulisan ini memotret cerita komunitas adat di Kepulauan Togian. Tulisan ini dibuat bersambung.
Orang Togian Tersingkir Dari Lautnya Yang Kaya (1)
Jopi Peranginangin
Identitas dalam Sejarah
Pada tahun 2001, seorang teman pernah bercerita, menurutnya saat membagikan
sebuah poster yang memuat tulisan: Lestari Alamku, Jaya Togeanku. Waktu itu tak ada masalah
bagi penduduk saat poster-poster tersebut dibagikan di wilayah
Batudaka, Pulau Togean, Talatakoh dan Malenge. Namun tak lama berselang, ternyata kalimat yang tertulis dalam poster tersebut mendapat protes keras dari beberapa orang yang tinggal di Kecamatan Walea Kepulauan. Mereka menilai, program dan kalimat tersebut hanya ditujukan bagi orang-orang Togean, bukan bagi
penduduk yang tinggal di Pulau Walea Kodi dan Walea Bahi. Bagi orang Walea,
kata ‘Togean’ yang tertulis dalam poster
tersebut secara spesifik hanya mengacu pada nama Pulau Togean atau
orang suku Togean yang kebanyakan
mendiami pulau tersebut dan Batudaka. Sedangkan
mayoritas penduduk di Walea adalah suku Saluan dan
sebagian lagi adalah keturunan Gorontalo. Setelah dijelaskan maksud kata ‘Togean’ dalam poster tersebut adalah wilayah Kepulauan Togian, masyarakat
bisa menerimanya. Meski penduduk Walea pada akhirnya menerima penjelasan tersebut, hal ini menunjukkan bagaimana orang Walea Kepulauan membangun
identitas mereka saat berinteraksi dengan orang lain. Ada pemaknaan yang berbeda tentang ‘Togean’ antara orang-orang di
Walea Kepulauan dengan orang luar, bahkan
di antara penduduk Kepulauan Togean sendiri.
Persoalan nama
atau penamaan terhadap Kepulauan Togian ini, di satu sisi merupakan sebuah proses identifikasi yang mengambil dua
bentuk, yaitu: sebagai dinamika individual yang bersifat unik berdasarkan
karakteristik seseorang, serta sebagai bentuk manifestasi budaya yang bersifat
kolektif (Hall, 1989: 232). Dalam arti, proses
identifikasi sangat ditentukan oleh relasi sosial seseorang dengan orang lain.
Akan tetapi, relasi itu sendiri juga ditentukan oleh struktur, peran, norma
sosial yang dipahami secara kolektif di dalam komunitas pada saat individu itu berada.
Dalam konteks yang
berbeda, nama ‘Togean’ juga dapat ditarik ke dalam sebuah perdebatan
sejarah. Seorang anggota komunitas adat Togean di Wakai, yang juga anggota AMAN
Kepulauan Togean, menuliskan:
Kata Togean adalah kata yang
diberikan oleh penjajah
Belanda untuk menyebut nama Kerajaan Lebo Kintanah Togo Eang, karena
orang Belanda memang agak kesulitan
membahasakan Togo Eang, yang kemudian
disebut dalam dialek
Belanda jadi
‘Togean’. Namun sebenarnya dalam sejarah tidak mengenal kata Togean
melainkan Togo eang atau Kerajaan Lebo Kintanah Togo Eang ditinjau secara Etymology dalam bahasa daerah, berarti
Kerajaan Lembah (daratan) tiga orang besar. Namun sejalan dengan
perkembangan sejarah, Belanda lebih mempopulerkan nama Togean dari pada
Lebo Kintanah Togo Eang. Hal ini dapat ditelusuri dalam berbagai arsip
administratif
Pemerintah Belanda, seolah-olah sebutan resmi yang diakui oleh Belanda
adalah Togean. Berdasarkan kajian dari istilah tersebut, pemerintah Belanda telah memberi
kontribusi terhadap pengaburan sejarah. Karena kata Togean yang telah popular hingga saat
ini, tidak
lagi mencerminkan makna serta pengertian substansi yang jelas. Bahkan belakangan
ini, terjadi lagi perdebatan perbedaan huruf “i” dan “e” (Togian
atau Togean). Sekalipun kata Togean memiliki landasan bukti yang kuat,
namun harus diakui perdebatan itu adalah perdebatan semu yang
membenarkan pengaburan sejarah oleh Belanda dan tidak sedikitpun
membantu untuk mengembalikan sejarah. Hendaknya yang diperdebatkan
adalah pengembalian nama “Togo Eang” dari Togean.
Seperti protes
penduduk Walea Kepulauan atau pendapat dari anggota komunitas adat Togean di atas, kata ‘Togean’
memang kadang menjadi perdebatan bagi beberapa orang di Kepulauan Togean. Penduduk kadang memaknai kata ‘Togean’ sebagai nama salah satu pulau atau suku yang mendiami Kepulauan tersebut. Dalam keseharian penduduk lebih sering mengidentifikasi diri mereka sebagai ‘orang pulo’ atau sebutan lain
berdasarkan nama desa maupun kecamatan, misalnya orang Walea (Kepulauan), orang Una-Una, orang Wakai, orang Kabalutan dan sebagainya, bukan ‘orang Kepulauan Togean’ apalagi orang
‘Togean’ untuk merujuk pada diri atau tempat tinggal mereka. Tapi
dalam situasi tertentu, penamaan seperti itu digunakan juga
apabila kata ‘Kepulauan Togean’ atau ‘Togean’
dianggap relevan dalam interaksi sosial mereka, atau
tergantung persepsi mereka terhadap lawan bicaranya.
Buku ini
menyebutkan bahwa penyebab terjadinya perbedaan tuturan sejarah (lisan) di
dalam masyarakat Kepulauan Togean disebabkan oleh faktor alam yang berbeda, letak geografis
wilayah yang berjauhan dan perkembangan cerita yang bersifat kontinyu sehingga
terjadi pembiasan (Hasan, Nuraedah dan Lumangino, 2006:97). Bentang alam telah
dianggap sebagai faktor determinan terhadap proses penuturan sejarah dan
pembentukan pengetahuan yang berbeda-beda tentang sejarah masyarakat di Kepulauan Togean.
Pada saat diseminarkan, beberapa orang Kepulauan Togean yang hadir, sempat menyampaikan protes terhadap beberapa bagian buku tersebut. Terutama terkait
dengan sejarah suku-suku yang ada di Kepulauan Togean, seperti Bajo, Saluan,
Bobongko, dan suku Togean itu sendiri.
Perbedaan kisah
sejarah (lisan) antara satu suku dengan suku lainnya memang terjadi di Kepulauan
Togean, setidaknya yang cukup menonjol adalah antara suku Bobongko dengan suku
Togean, mereka masih memperdebatkan
siapa di antara kedua-nya yang lebih dulu ada di Kepulauan Togean itu, sehingga
mereka dapat menarik batas dengan jelas antara siapa yang patut dianggap
sebagai suku ‘asli’ dan siapa ‘pendatang’.
Demikian pula
sebaliknya hal yang diutarakan oleh orang dari suku lain tentang sukunya
sendiri. Tulisan-tulisan tentang identitas etnik di Kepulauan Togean juga
cenderung mengarahkan pada penilaian tentang siapa yang lebih dulu mendiami Kepulauan
ini. Sebuah makalah, berdasarkan ‘cerita rakyat’ yang dikumpulkan, secara
meyakinkan menyebut suku Bobongko dan Bajo sebagai suku tertua dan yang pertama
kali mendiami Kepulauan Togean (Darnaedi, 1996). Sumber lain menyebutkan bahwa
suku Togean yang mendiami Desa Benteng adalah penduduk pertama yang ada di Kepulauan
Togean (Hasan, dkk., 2006; Kani, 2002).
Di sisi lain,
sebuah laporan perjalanan ditulis oleh Van der Wal yang mengunjungi Kepulauan
Togean tahun 1680-an menyebutkan bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang
Bobongko yang mendiami Teluk Kilat bagian selatan Pulau Togean. Sementara tahun
1865, hampir dua ratus tahun setelah Van der
Wal, penguasa Gorontalo, C.B.H. von Rosenburg, menuliskan keberadaan
orang-orang Bugis atau Sama (Bajo) di kaki Gunung Benteng. Menurutnya, orang-orang Bugis itulah yang memukul mundur
orang-orang Bobongko, yang disebutnya sebagai ‘penduduk asli’ hingga jauh ke
dalam hutan di Pulau Togean (dalam Lowe, 2006: 88-89).
Catatan lain
tentang keberadaan suku-suku di Kepulauan Togean juga pernah ditulis oleh
seorang peneliti linguistik asal
Belanda, N. Adraini, yang pada tahun 1899 menulis The Language of the Togean
Islands. Adriani sudah menyebutkan keberadaan orang-orang suku Bobongko,
Saluan dan Togean. Dengan meneliti akar bahasa dari tiap suku, Adriani menarik
asumsi-asumsi tentang kemungkinan asal-usul dari suku-suku tersebut. Dikatakan
pula bahwa bahasa Bobongko memiliki akar dari bahasa Limbotto (kini masuk
wilayah Propinsi Gorontalo), sehingga kemungkinan besar mereka adalah keturunan
orang-orang Limbotto yang bermigrasi ke Kepulauan Togean pada tahun 1800-an.
Adriani juga menuliskan bahwa bahasa suku Togean menyerupai bahasa yang
digunakan penduduk di Ampana yang dikenal dengan bahasa Ta’a. Sedangkan bahasa
Saluan lebih menyerupai bahasa yang digunakan di wilayah Luwuk, kini ibukota Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Lowe,
1999: 19-20).
Khusus soal
migrasi orang-orang Limbotto seperti yang disebutkan Adriani, sebuah tulisan
sejarah lokal oleh J. Bastiaans tentang perjanjian antara kerajaan Limbotto dan
kerajaan Gorontalo, mungkin memberi pandangan yang berbeda tentang hubungan
antara Bobongko dengan Limbotto. Salah satu isi perjanjian dua kerajaan tersebut mengatur pembagian
kekuasaan atas beberapa wilayah di Teluk Tomini. Disebutkan bahwa Sausu
(sekarang masuk wilayah Kabupaten Parigi Moutong) dan Tamalate masuk dalam
wilayah kerajaan Gorontalo, sedangkan Pulau Togean dan Nyuala (Bastiaans tidak
mengetahui letaknya) masuk ke dalam wilayah kekuasaan Limbotto (Bastiaans, 2005: 219).
Tulisan ini tidak bermaksud
untuk menghasilkan sebuah konstruksi sejarah yang pada akhirnya melahirkan
sebuah ‘kebenaran’ bagi seseorang atau satu kelompok tertentu yang memiliki
kepentingan atas sejarah tersebut. Tulisan ini hanya ingin meletakkan
perbedaan-perbedaan dalam tuturan sejarah tentang orang-orang di Kepulauan Togean
dalam konteks konstruksi identitas sosial mereka. Orang-orang dari suku Togean,
Bajo, Bobongko atau Saluan mungkin belum menemukan versi lain yang lebih
bervariasi tentang sejarah mereka, terutama yang ditulis oleh orang luar. Akan
tetapi, pengetahuan mereka tentang sejarah mereka sendiri pada situasi tertentu
dapat menjadi bagian dalam mengartikulasikan identitas mereka, apalagi ketika
hal itu memiliki relevansi untuk merespon sikap suku atau kelompok lain
terhadap dirinya.
Ratusan tahun lalu
orang-orang Bugis, Gorontalo, Ternate, Cina dan bangsa Melayu telah datang ke Kepulauan
Togean dan melakukan transaksi-transaksi perdagangan hasil pertanian, hutan dan
laut dengan para saudagar dan penduduk setempat. Orang-orang dari kerajaan
Bugis, Ternate dan Gorontalo bahkan ikut berperan dalam membentuk struktur
politik pemerintahan di Kepulauan Togean dan sekitarnya yang kini menjadi
bagian dari Kabupaten Touna (Kani 2002; Hasan, Nuraedah dan Lumangino, 2006).
Kepulauan Togean telah jadi bagian ‘kosmopilitik’
yang terbangun melalui sistem ekonomi kapitalisme global ketika itu. Banyak
orang-orang yang kini memiliki posisi politik dan ekonomi di Touna adalah
keturuan Bugis, Gorontalo atau
Ternate.
Kopra-kopra
dihasilkan dari Pulau Una-Una telah
lebih dari satu abad lalu jadi komoditas penting dalam jaringan perdagangan
antar pulau di Nusantara, terutama sejalan dengan berkembangnya pelabuhan
Makassar ketika itu. Teluk Tomini telah
menjadi jalur lintasan kapal pengangkut kopra milik Koninklijke Paketvaart
Maatschapiij yang menghubungkan Makassar dengan pelabuhan besar lainnya,
seperti: Gorontalo, Banggai, Ternate, dan
Menado (Asba, 2007). Pulau Una-Una, pada jaman Hindia Belanda juga disebut sebagai Pulau Ringgit karena menjadi salah satu pusat transaksi pedagang hasil
perkebunan, hutan dan laut di Kepulauan
Togean dan sekitarnya (Kani, 2002). Hingga kini, kopra masih menjadi sumber penghasilan penduduk
yang utama dan memberi nilai bagi perekonomian regional tingkat Kabupaten,
selain cokelat dan hasil laut. Kopra di Kecamatan Kepulauan Togian juga memasok
kebutuhan bagi daerah lain dan pasar internasional. Salah satu pabrik
pengolahan kopra milik perusahan minyak goreng Bimoli pernah dibangun di kota Ampana.
Sumberdaya alam di
Kepulauan Togean, secara ekonomis, telah menarik kepentingan banyak suku dan
bangsa untuk datang, menetap dan akhirnya membangun identitas sosial mereka di
wilayah ini. Lalu, siapakah sesungguhnya yang disebut ‘orang pulo’ dalam konteks historis seperti ini?
Alam dan Penduduk Kepulauan Togean
Kepulauan Togean terletak di tengah Teluk Tomini,
dalam posisi melintang dari barat ke arah timur. Ke sebelah selatan dan barat,
terpisah dengan lautan dalam, sementara Kecamatan Kepulauan Togian berbatasan
dengan daratan Pulau Sulawesi. Sedangkan ke arah utara, Kepulauan Togean
berbatasan dengan daratan Sulawesi bagian dari wilayah Propinsi Gorontalo. Luas
keseluruhan wilayah daratan Kepulauan Togean kurang lebih 755,4 Km2 atau
sekitar 75.000 Ha. Wujud spasial Kepulauan Togean merupakan rangkaian 7 pulau
utama yang memanjang dari barat ke timur, yaitu Pulau Batudaka, Togean, Talatakoh, Una-Una, Malenge, Walea
Kodi, dan Walea Bahi. Pulau-pulau tersebut dikelilingi oleh beberapa pulau yang
lebih kecil, serta puluhan pulau karang (islets) tak berpenghuni yang
lebih menyerupai batu menyembul dari dalam laut.
Di sebelah
barat laut Pulau Una-Una, terpisah agak jauh dari kumpulan pulau-pulau lainnya, juga terdapat Gunung api Colo yang menjulang setinggi kurang lebih 500
meter. Sejak terakhir kali Gunung Colo meletus pada tahun 1983, pemerintah Kabupaten Poso saat itu menetapkan Pulau Una-Una sebagai daerah rawan bencana yang tertutup bagi pemukiman penduduk. Seluruh desa yang ada di sana dipindahkan ke
desa-desa baru yang dibangun di Pulau Batudaka dan Pulau Togean. Meski status tersebut belum dicabut, penduduk desa-desa yang
dulu menetap di sana
masih mengunjungi pulau itu untuk mengolah kebun kelapa mereka. Bahkan, dalam 15 tahun terakhir, sebagian dari penduduk asal
Una-una juga telah menempati kembali
rumah-rumah mereka yang dulu ditinggalkan itu. Setiap hari kapal-kapal motor berkapasitas hilir mudik mengangkut
penumpang, hasil bumi, dan barang-barang kebutuhan lainnya antara Pulau Una-una dengan pelabuhan-pelabuhan lain,
seperti Ampana, Wakai, Bomba, Kulinkinari dan Lebiti. Bahkan speedboat milik beberapa diving
resort kadang mengantar sekelompok turis asing yang berminat menyelam di
areal terumbu karang di sekeliling Pulau Una-una. Di pulau ini juga masih terlihat bekas
aliran lahar yang membeku, bangunan Mesjid tertua di
Kepulauan Togean, serta rumah-rumah penduduk yang masih
kosong. Namun, aktivitas berkebun, berdagang, dan mencari hasil laut sudah dilakukan kembali oleh penduduk
di sana.
Kepulauan Togean termasuk ke dalam wilayah administratif pemerintahan Kabupaten Tojo Una-Una (Touna), sebagai hasil pemekaran Kabupaten Poso pada tahun 2003. Ampana adalah ibukota kabupaten yang sekaligus pula jadi kota pelabuhan terdekat dengan Kepulauan Togean. Dari Palu, ibukota Propinsi Sulawesi Tengah, Ampana dapat ditempuh melalui jalan darat sejauh lebih dari 400 kilometer melintasi Kota Poso yang antara tahun 200 hingga 2002 dilanda konflik. Jarak antara Kota Ampana dengan pelabuhan Wakai, kota kecamatan dan pelabuhan di Togean yang terdekat dengan Ampana, kurang lebih 25 kilometer. Kedua kota ini hanya dapat dijangkau dengan transportasi laut selama kurang lebih 3 hingga 4 jam lamanya menggunakan kapal motor (KM), atau sekitar 1,5 hingga 2 jam, jika menggunakan speedboat atau perahu tempel berkekuatan 100 PK.
Penduduk Kepulauan Togean yang bermukim di bagian barat dan tengah
kepulauan, seperti di Pulau Togean (termasuk orang-orang
Bobongko di Teluk Kilat), Una-Una, Batudaka, Melenge, dan sebagian
Talatakoh lebih sering berhubungan dengan penduduk di kota Ampana untuk aktivitas-aktivitas di luar
urusan dengan pemerintah kabupaten. Namun banyak penduduk Kepulauan Togean yang berada di wilayah timur, seperti penduduk Pulau Walea Bahi dan Walea Kodi, serta bagian selatan Pulau Talatakoh (termasuk Desa Kabalutan) yang justru berhubungan
dengan penduduk Gorontalo dan kota-kota wilayah Kabupaten Banggai, seperti Bunta dan Pagimana. Ini disebabkan jarak antara
Gorontalo, Bunta atau Pagimana dengan tempat tinggal mereka, dianggap lebih dekat dibandingkan ke Ampana. Dua kali
dalam seminggu kapal feri milik PT. PELNI dan sebuah KM. Puspita milik swasta
melayari jalur Ampana-Gorontalo.
Keduanya singgah di pelabuhan-pelabuhan tertentu di Kepulauan Togean, seperti Wakai, Katupat, Malenge, Dolong, dan Pasokan.
Selain penduduk setempat, para backpacker, wisatawan yang tidak terikat
oleh agen perjalanan wisata, juga menggunakan kapal-kapal tersebut. Para wisatawan ini berdatangan untuk menikmati
pemandangan bawah laut dan pantai-pantai berpasir di Kepulauan Togean.
Kondisi Sosial Ekonomi
Laporan sensus demografi
yang dikeluarkan Kabupaten Touna menyebutkan bahwa pada
tahun 2008 jumlah penduduk di empat Kecamatan di Kepulauan Togean kurang lebih 37.789 jiwa. Mereka tinggal
menyebar di 42 desa yang ada dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Una-Una yang meliputi penduduk di Pulau Batudaka dan Pulau Una-Una. Kecamatan Kepulauan Togian meliputi Pulau Togean dan beberapa pulau kecil
di sekitarnya. Kecamatan Walea Kepulauan mencakup Pulau Talatakoh, Malenge dan Pulau Walea Kodi serta Kecamatan Walea Besar.
Sebagaimana umumnya informasi-informasi demografis, laporan statistik pemerintah Indonesia juga membagi identitas penduduk di Kepulauan Togean berdasarkan jenis pekerjaan mereka, yaitu petani, nelayan atau pekerjaan lainnya. Data Badan Pusat Statitik (BPS) Kabupaten tahun 2004, di Kepulauan Togean terdapat sekitar 1.760 kepala keluarga yang berprofesi sebagai nelayan dengan produksi hasil perikanan laut sebesar 523 ton.
Sedangkan
berdasarkan catatan Kecamatan. Dalam Angka yang dikeluarkan Pemda
Poso tahun 2000 menunjukkan jumlah petani (tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura) di Kepulauan Togean sekitar 2.231 kepala
keluarga. Meski demikian, di Kecamatan Kepulauan Togian sesungguhnya sulit menunjukkan batasan yang tegas apakah seseorang itu adalah ‘petani’
atau ‘nelayan’ karena dalam kesehariannya penduduk hampir setiap hari mencari hasil laut meski mereka juga
memiliki kebun cengkeh, cokelat atau kelapa. Atau, mereka tampak selalu
mengurus kebunnya, namun juga memiliki bagang, atau mencari hasil laut pada
waktu-waktu tertentu.
Adat-istiadat
(Ritual Adat) yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah/Sumberdaya alam
Masyarakat Adat Kepulauan Togean dalam praktek pengelolaan SDA dan dalam hubungan sosial kemasyarakatan, sebagaimana masyarakat adat lainya di Indonesia, memiliki hukum-hukum adat dan norma-norma adat yang mereka punyai sejak dulu secara turun temurun. Hanya saja akibat kebijakan Negara yang cenderung melakukan pembumihangusan terhadap hukum dan norma adat, sehingga hukum dan norma adat Masyarakat Adat di Kepulauan semakin hari semakin terkikis dan hampir punah. Kondisi ini juga diakibatkan oleh kawasan Kepulauan Togean yang open access, maka pengaruh globalisasi sangat cepat mempengaruhi norma-norma dan hukum adat masyarakat adat Kepulauan Togean.
Walau demikian, masyarakat Adat Kepulauan
Togean saat ini, masih memiliki hukum
dan norma adat, sebagai contoh kebiasaan masyarakat Adat Bajo
dalam proses penangkapan ikan menerapkan sistem Bapongka.
Bapongka adalah sistem gilir balik dalam proses penangkapan ikan dengan cara
memperhatikan cuaca dan tanda-tanda alam lainnya. Sistem Bapongka ini
sangat arif lingkungan yaitu dengan tidak melakukan penangkapan ikan-ikan
kecil yang tak layak untuk dikonsumsi.
Dalam proses Bapongka masyarakat Adat Bajo pantang membuang kopi di
laut, karena menurut kepercayaan masyarakat Adat
Bajo bahwa laut bagi mereka adalah sumber kehidupan dan penghidupan Masyarakat
Adat Bajo. Bahkan masyarakat adat Bajo mengibaratkan laut
adalah tikar, karang adalah bantal dan ombak ibarat selimut bagi mereka.
Kearifan Adat lainnya yang dimiliki oleh masyarakat Adat
Kepulauan Togean khususnya masyarakat Adat Bobongko
dan Togean, mereka masih memiliki kepercayaan terhadap hutan-hutan yang
dianggap keramat dan tidak boleh dirusak untuk kebutuhan apapun, misalnya hutan
yang ada di wilayah Gunung Benteng, Pinaat dan Kayome.(bersambung)
1 comment:
Kreatif 🙏🙏👍👍👍
Post a Comment