Sistem Ekonomi Berbasis Binua
Jopi Peranginangin
Sampai
saat ini, corak produksi pertanian yang menyesuaikan dengan topografi-nya masih
menjadi tulang punggung ekonomi sebagian besar masyarakat adat Indonesia.
Demikian halnya dengan Kabupaten Landak, akan tetapi
lapisan tanah subur tipis dan kontur tanah-nya cenderung tidak memungkinkan
untuk dibangun saluran irigasi. Sehingga didaerah seperti ini, pola pertanian hortikultur
yang tepat untuk dikembangkan. Pola seperti ini sering di istilahkan dengan pertanian
tebas-bakar. Pola seperti ini merupakan hasil evolusi masyarakat dengan
alamnya. Setelah persoalan produksi selesai sampai terpenuhi-nya kebutuhan
mendasar, suatu kelompok masyarakat akan melanjutkan ke pembentukan organisasi.
Modus produksi yang berbeda itu akan menghasilkan model
organisasi yang berbeda pula. Misalnya, pada komunitas adat Dayak Kanayatn,
organisasi yang dikembangkan lebih egaliter dan berjenjang. Dari unit terkecil
bernama tumpuk karadakng (kampung) berlanjut ke unit yang lebih besar yaitu Binua.
Berbeda dengan konsep Desa yang mengembangkan pola pertanian agrikultur (pertanian
dengan irigasi, biasanya intensif) sebagaimana yang dikembangkan masyarakat
Jawa yang cenderung mengantar pada bentuk organisasi yang bersifat
sentralistik.
Sosiolog
Philip Kottak, menggunakan istilah organisasi sosiopolitik pada
organisasi-organisasi yang menyatukan, mengatur atau mengelola suatu kelompok
masyarakat. Menurutnya, pengaturan disini didefinisikan sebagai proses yang
menjamin bahwa variabel-variabel tetap berada dalam kisaran normal, yang
mengoreksi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma dan menjaga intergritas
sistem. Dalam pengertian ini, kekuasaan, kewenangan dan hukum merupakan
variabel-variabel yang diikat oleh pengaturan sehingga menjadi satu sistem.
Tumpuk karadakng (Kampung) adalah awal dari pembentukan identitas kultural
dayak. Ini dapat dilihat dari proses pembentukannya, dimana kampung terbentuk
dulu setelah itu binua. Pembentukan binua bisa dipengaruhi beberapa faktor,
misalnya, saat jumlah penduduk dengan luas lahan tidak seimbang lagi, atau
karena pembukaan lahan baru/parokng ditempat lain oleh satu keluarga hingga
diikuti keluarga lain, bisa juga karena konflik. Beberapa faktor tersebut yang
menyebabkan jumlah kampung bertambah. Kampung yang merasa mempunyai asal-usul
sama dengan kampung lain berasosiasi untuk membentuk suatu organisasi
sosiopolitik yang lebih kompleks, yakni BINUA.
Sistem Ekonomi binua
Berdasarkan sejarah, ada 5 komponen utama yang dapat dikembangkan untuk mendukung ekonomi masyarakat adat (terkait dengan hubungan adat dan ekonomi) ditingkat binua, yaitu:
1. Ari
Tuha: Biasanya
berbentuk kerja bersama setiap perwakilan keluarga dalam satu tumpuk karadakng
dan atau binua diladang milik pengurus adat. Ari tuha dilaksanakan selama 1-2
hari dalam setahun (satu musim tanam). Puluhan anggota masyarakat adat dengan
sukarela memenuhi kewajibannya guna memenuhi hak pengurus adat.
2. Adat
Tahutn: Berbentuk
seperangkat barang/benda adat (tumpi’, poe’, ayam, beras, minyak kelapa, dll).
Setiap keluarga/rumah berkewajiban ”menyetor” adat ini kepada pejabat adat yang
bergelar Tuha Tahutn. Selanjutnya Tuha Tahutn akan mengundang mereka untuk
hadir dalam pembagian adat tahutn ini. Setiap keluarga kembali mendapat adat
tahutn ini setelah diberkati melalui prosesi upacara persembahan kepada Jubata
(Tuhan). Melihat dari dekat konsep ini, sebenarnya dapat dikembangkan menjadi
alat untuk mobilisasi ekonomi pada tataran binua.
3. Nyolo’: Ungkapan
keprihatinan keluarga masyarakat adat terhadap keluarga lainnya yang
memerlukan. Nyolo’ dilakukan dalam berbagai bentuk; utamanya beras,
gula-kopi, daging, dll. Nyolo’ dapat diartikan sebagai ungkapan solidaritas
ekonomi masyarakat adat.
4.
Birisatn: Serangkaian
proses pemungutan sumbangan dari masyarakat secara terencana, yang dilakukan
pada saat tertentu. Birisatn diadakan apabila seseorang keluarga atau warga mendapat
musibah.
5. Aleatn: Pola kerja
berkelompok di masing-masing kampung. Anggotanya berjumlah antara 5-30
orang. Kegiatan yang dilakukan biasanya berkisar pada siklus perladangan atau
sawah.
Merujuk
pada sistem ekonomi diatas, tampak bahwa masyarakat dengan pola pertanian
hortikultur sangat mengutamakan keseimbangan alam. Hal ini tidak lepas dari
pemahaman bahwa hasil pertanian merupakan buah dari perpaduan kerja keras dan
kemurahan alam, dalam bentuk alam yang seimbang (air cukup, tidak banjir, tidak
kering, panas cukup, tidak terlalu panas, dsb). Pengalaman ini direfleksikan
pada hubungan antara manusia dengan penciptanya dan relasi antara manusia
dengan manusia. Adat merupakan kata yang menunjuk pada suatu konsep luas,
misalnya, Konsep dibalik ungkapan mengadati kampung, sangat erat kaitannya
dengan konsep keseimbangan sosial. Masyarakat adat (dayak, misalnya) percaya
bahwa perbuatan-perbuatan yang melanggar norma sosial akan merusak keseimbangan
sosial. Maka sebuah kampung yang warganya melakukan hal itu harus dikembalikan
kepada keseimbangan, caranya dengan ritual adat.
Potensi pengembangan ekonomi produk hutan non kayu
Sistem
ekonomi asal-usul diatas akan semakin sinergis dengan pengembangan ekonomi
masyarakat adat Landak jika merujuk pada potensi sumber daya alam-nya, yakni
Hutan. Karena produk hutan selain kayu memiliki kontribusi yang cukup penting
dalam sistem perekonomian rumah tangga penduduk didalam dan disekitar hutan.
Beberapa
hasil hutan non kayu yang diperkirakan cukup menonjol dalam kegiatan
perekonomian rumah tangga dan menjadi mata pencaharian utama masyarakat adat
selain bertani (hasil inventarisasi Persekutuan Komunitas Masyarakat Adat Kabupaten
Landak dan Yayasan Pangingu Binua (2005), sbb :
1. Rotan
Saga ( Calamus caesius ). Pada masyarakat adat, rotan memang telah menjadi salah
satu hasil hutan yang penting dalam rangka memenuhi keperluan rumah tangga.
Rotan digunakan untuk membuat peralatan yang dibutuhkan sehari-hari, seperti
Bide/alas tidur, dubang/pengangkut benih padi, dll. Dalam perkembangannya,
rotan juga dibutuhkan untuk membuat barang-barang kebutuhan pasar ( barang
kerajinan ). Dibeberap tempat, rotan yang belum diolah juga sudah sejak lama
menjadi komoditi perdagangan untuk menghasilkan uang kontan.
2. Bambu
(mambusa arundinaceae). Salah satu produk hutan non kayu yang penting dalam
kehidupan masyarakat adat. Pada jaman dulu, hampir setiap rumah menggunakan
bambu sebagai bahan baku, misalnya dinding, tiang, kasau, dll. Selain digunakan
untuk bahan rumah, bambu juga digunakan untuk pagar, jembatan, kerajinan
tangan, rakit bahkan batang muda ( rebung) bambu dikonsumsi manusia sebagai bahan
pangan. Olehnya, bambu memainkan peranan penting dalam pola perekonomian
masyarakat adat.
3. Gaharu.
Merupakan hasil hutan non kayu yang mempunyai nilai ekonomi cukup baik.
Masyarakat adat di Menjalin, Darit, Air besar adalah pengumpul gaharu.
Pengumpulan gaharu dilakukan dengan menebang pohon yang memang menghasilkan
gaharu. Kegiatan pencaharian gaharu ini baru terjadi dalam sepuluh tahun
belakangan ini. Hasil buruan gaharu dijual masyarakat kepada para pedagang
dikota. Hal ini menunjukan bahwa aktivitas ekonomi gaharu ini pada dasarnya
tercipta sebagai respons atau hasil interaksi antara kebutuhan orang luar atas
gaharu dan pemenuhan kebutuhan sendiri atas sejumlah kebutuhan berupa uang
tunai.
4.
Tengkawang (shorea). Tengkawang yang diekstrak mejadi minyak tengkawang
merupakan bahan untuk minyak goreng, pembuatan coklat, sabun, kosmetika, cat
dan vernis. Sebagian besar produk tengkawang ini menjadi komoditi eksport.
5. Satwa.
Sejumlah satwa liar juga termasuk kedalam hasil hutan non kayu yang potensial.
Satwa liar diburu tidak hanya untuk bahan pangan tetapi juga memiliki manfaat
lain seperti perdagangan untuk kebutuhan dunia kedokteran sebagai hewan
percobaan. Misalnya Monyet ( Macaca sp), Rusa (Cervus unicolor) dll, namun
satwa-satwa tersebut kini sulit ditemukan diwilayah Kabupaten Landak.
Produk
hutan non kayu diatas dapat dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
dan dimanfaatkan untuk tujuan komersil guna mengatrol perekonomian masyarakat.
Sumber daya hutan non kayu itu dapat dikonversi menjadi uang tunai melalui
aktivitas pengumpulan, pemrosesan dan perdagangan. Dengan demikian, komoditi
hasil hutan non kayu itu bukan saja potensial bagi ekonomi pedesaan sebagai
sumber kehidupan tetapi beberapa jenis darinya malahan potensial untuk pasar
eksport yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan asli daerah Kabupaten
Landak.
No comments:
Post a Comment