Halmahera Utara, Mengangkat Identitas Adat
Masyarakat Hibualamo
Jopi Peranginangin
Pada 1999-2001, Halamahera Utara pernah terpuruk akibat konflik berdimensi
SARA. Hampir separuh kota terbakar habis. Listrik tak menyala hampir empat
tahun. Menariknya, Tobelo cepat sekali bangkit dari keterpurukan itu. Ada
suasana terbuka yang wajar. Mereka yang berkonflik mengatakan tak ada yang
menang, tak ada yang kalah dalam peperangan itu. Mereka kini belajar untuk
toleran satu dengan yang lain.
Inilah wajah Kabupaten Halmahera Utara. Kabupaten yang akan menjadi tuan
rumah penyelenggaraan Kongres Masyarakat Adat Nusantara ke-Empat (KMAN IV) pada
19 – 25 April 2012.
Usia boleh muda, tetapi peran dalam sejarah dunia perlu diperhitungkan.
Sebagian wilayah kabupaten yang baru mekar tanggal 23 Februari 2003 berdasarkan
UU Nomor 1 Tahun 2003 ini pernah ikut andil dalam sejarah Perang Dunia II.
Salah satu wilayahnya, Pulau Morotai (kini menjadi kabupaten baru hasil
pemekaran), menjadi saksi bisu dalam pertempuran antara tentara Jepang dan sekutu
yang dikomandani Amerika Serikat. Pada zaman Perang Dunia II, pulau ini menjadi
pangkalan militer pasukan Amerika Serikat.
Sisa-sisa peninggalan perang, seperti meriam, benteng, dan senapan, masih dapat dijumpai di pulau ini. Namun, sayang, sisa-sisa peninggalan itu sudah jarang ditemui karena oleh masyarakat setempat barang tersebut dimanfaatkan menjadi kerajinan tangan. Rongsokan senjata dilebur menjadi kerajinan besi putih yang dihiasi mutiara, sedang butiran mutiaranya tidak dihasilkan Halmahera Utara, melainkan didatangkan dari Kecamatan Bacan, Kabupaten Halmahera Selatan.
Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Halmahera Utara memiliki potensi pariwisata bahari. Wisata pantai terdapat di Pantai Kupa-Kupa di Kecamatan Tobelo Selatan, Pantai Luari di Kecamatan Tobelo. Telaga Duma dan Telaga Makete di Kecamatan Galela, Telaga Lina di Kecamatan Kao, dan Telaga Paca di Kecamatan Tobelo. Bagi penggemar olahraga selam, Pulau Morotai memiliki taman laut yang indah untuk dinikmati. Namun, sampai saat ini potensi pariwisata bahari di Halmahera Utara belum dikelola dengan baik.
Potensi utama Kabupaten Halmahera Utara diperoleh dari perkebunan dan jasa. Penduduk Halmahera Utara bergantung pada pertanian, terutama perkebunan kelapa dan cengkeh. Luas areal perkebunan kelapa tahun 2010 sebesar 47.900 hektar dengan produksi 68.500 ton. Kecamatan Tobelo, Tobelo Selatan, dan Galela paling banyak menghasilkan komoditas kelapa.
Pengolahan kelapa selama ini terbatas pada produk kopra. Sebenarnya, sebelum terjadi kerusuhan di Maluku Utara, sempat ada pabrik pengolahan minyak kelapa di Tobelo. Namun, akibat kerusuhan, pabrik pengolahan tersebut tutup. Sekarang pengolahan kopra sampai menjadi minyak kelapa dilakukan di Kota Ternate. Akan tetapi, karena kapasitas pabrik pengolahan terbatas, sebagian produk tersebut dibawa ke Surabaya melalui Pelabuhan Tobelo. Di sana komoditas ini diolah lebih lanjut menjadi minyak kelapa.
Rempah-rempah seperti cengkeh juga menjadi andalan kabupaten. Sepertiga luas areal dan produksi cengkeh di Kabupaten Maluku Utara disumbang oleh Kabupaten Halmahera Utara. Kecamatan Malifut dan Kao merupakan produsen terbesar di Halmahera Utara. Pada tahun 2010 areal tanaman cengkeh 2.667 hektar dengan produksi 494 ton.
Peran Lembaga Adat dalam Upaya Perdamaian di Halmahera Utara
Konflik horinzontal bernuansa SARA yang melanda Halmahera dan sekitarnya
(1999–2000) merupakan pelajaran yang tak terlupakan bagi seluruh komponen masyarakat di daerah ini. Di Halmahera
Utara sendiri konflik tersebut menjadi noda hitam dalam sejarah kehidupan
masyarakat adat yang begitu menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Dari konflik
yang terjadi di Maluku Utara, kawasan Halmahera Utara merupakan salah satu
wilayah yang paling banyak menelan korban jiwa.
Di Halmahera Utara khususnya wilayah Tobelo yang justru merupakan tempat dimana peradaban suku–suku setempat bermula dan berada di bawah payung adat "Hibualamo" sebagai komunitas masyarakat adat yang sangat menjunjung nilai–nilai kekeluargaan dengan slogan "ngone oria dodoto" yang berati kita semua bersaudara, justru menjadi titik rawan konflik.
Akan tetapi penyelesaian konflik yang relatif singkat jika dibandingkan dengan konflik serupa di Maluku (Ambon) adalah hal menarik yang patut dicermati. Hal tersebut tidak luput dari peran lembaga adat sebagai wadah pemersatu dalam mengupayakan rekonsiliasi antar kedua belah pihak yang bertikai. Proses penyelesaian konflik di Halmahera Utara dapat terwujud melalui keterlibatan aktif masyarakat dan tokoh-tokoh adat yang sama–sama menyadari bahwa mereka hanyalah korban kepentingan politik kelompok tertentu yang memanfaatkan isu-isu agama yang sedang marak saat itu.
Salah satu upaya yang dilakukan dalam proses rekonsiliasi adalah dengan melihat kembali nilai-nilai adat Hibualamo. Hal ini terbukti memberikan kontribusi besar bagi terwujudnya rekonsiliasi diantara kedua pihak yang bertikai. Dalam waktu yang relatif singkat para pengungsi dari beberapa wilayah sudah bisa kembali ke kampung halamannya tanpa harus menunggu program pemulangan pengungsi dari pemerintah.
Positifnya, identitas adat masyarakat Hibualamo kembali mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat Halmahera Utara. "Ngone oria dodoto" (bahasa Tobelo) dan "ngone oria de ogia nongoru" (bahasa Galela) yang berarti kita semua bersaudara kembali ditempatkan sebagai lambang kerukunan dan persatuan masyarakat.
Berkaca dari konflik Halmahera Utara ada dua hal yang dapat dipelajari yakni pertama, ketika konflik terjadi, masing-masing pihak yang bertikai tidak lagi berada dalam posisinya sebagai masyarakat adat dengan identitas budaya yang sama namun agama yang berbeda. Kedua, konflik ini menjadikan identitas kesatuan masyarakat adat di Halmahera Utara semakin mendapat perhatian dari semua pihak yang menginginkan rekonsiliasi dan menjadi semakin kuat pengaruhnya dalam masyarakat.
*Tulisan ini pernah dimuat Berita Satu*
No comments:
Post a Comment