Sejarah kolonialisme di tanah Papua bermula semenjak abad ke-16, ketika ekspedisi bangsa Eropa memperluas klaim wilayah kekuasaannya di wilayah asing (barbar, istilah yang digunakan bangsa Eropa masa itu). Bahkan menurut data yang dilansir ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia), sejak abad ke-8 para pelaut dan pedagang Sriwijaya sudah menjejakkan kaki-nya di bumi Papua, kemudian menamakan-nya dengan Janggi. Sementara itu, pada abad ke-13 para pelaut dan pedagang Cina memberi nama Pulau Irian tersebut dengan Tungki. Masa Kerajaan Majapahit berkuasa pada abad ke-14 dan 15, dinyatakan bahwa Pulau Irian sebagai bagian “wilayah yang kedelapan” dari kerajaan tersebut.
Pada awal abad ke-16, pelaut Portugis Antonio d’Abrau dan Francesco Serano menyebut Pulau Irian itu dengan nama Os Papuas. Sedangkan pelaut Portugis lain menyebut pulau itu Ilha de Papo Ia dan De Jorge de Menetes menamakannya Papua yang dalam Bahasa Melayu berarti rambut keriting. Pada saat itulah nama Papua dikenal diseluruh dunia, bahkan penduduk pribumi telah menerima dengan baik nama tersebut, sebab Papua itu mencerminkan identitas mereka sebagai manusia hitam dan rambut keriting. Sejak saat itu nama Papua terus dipertahankan.
*****
Tanah Papua yang dalam folklore orang Biak disebut Irian, artinya daratan luas, mempunyai luas daratan 42,2 juta hektar dan dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa dan beranekaragam. Kekayaan alam inilah yang menjadi motivasi utama pemerintah Amerika Serikat berkepentingan dengan Indonesia dalam proses PEPERA. Tiga tahun sebelum diberlakukan kekuasaan Indonesia atas Irian Jaya, Freeport McMoRan Copper and Gold Inc perusahaan tambang asal AS menandatangani kontrak produksi dengan Indonesia (1966) dan mendapat sambutan Soeharto dan elite rejim ini. Hasil pertambangan dapat memberi gambaran mengapa Amerika Serikat getol berlagak memihak Pemerintah Indonesia.
Pendapatan aktual bruto dari perusahaan ini diperkirakan sebesar 1,7 milyar Dollar AS atau Dollar AS 0,5 milyar netto setahun. Sebaliknya, Orang Papua tetap masih jadi penonton. Lebih dari 30 tahun kekayaan alamnya dikeruk dan ruang hidupnya dihancurkan porak poranda oleh mesin-mesin Amerika, rakyat Papua masih terus didera kelaparan dan kekerasan.
Sejak dimulainya penambangan Ertsberg tahun 1970 an dan kawasan Grasberg lainnya, masyarakat adat Amungme dan Komoro sebagai pemilik hak ulayat tidak pernah dimintai persetujuannya dengan penuh kesadaran. Orang Amungme dan suku-suku sekitar memprotes tanahnya dirampas dan tanpa ada penghargaan terhadap hak-hak budaya dan spritual mereka. Pada tahun 1974, Freeport menjawabnya dengan membangun sekolah, klinik, perumahan dan sarana bangunan lainnya. Polanya selalu demikian, protes rakyat yang dirugikan dan menderita akan dirayu dan dibujuk dengan program bantuan pembangunan.
Namun kalau ada protes keras, Freeport yang selalu mendapat fasilitas pengamanan militer Indonesia dan tidak segan-segan melakukan kekerasan. Peristiwa tragis terjadi tahun 1977 di Tembagapura, rakyat setempat memotong jalur pipa tambang dan membakar tangki minyak. Dibalas pemboman kampung-kampung Suku Amungme sekitar Tembagapura serta kampung-kampung Suku Lani di timur Lembah Balim oleh Skuadron "Kuda Sembrani" TNI/AU.
Secara resmi pemerintah Indonesia mengumumkan jumlah orang yang meninggal sebanyak 900 jiwa, tetapi angka dilapangan menunjukan data dua kali lipat lebih banyak. Setelahnya, pemerintah Indonesia lalu memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua, sejak tahun 1978 – 5 Oktober 1998. Untuk pengamanan Freeport, TNI menugaskan satu batalyon (sekitar 700-800 personel) prajuritnya, ditambah satuan non organik TNI dan secara keseluruhan jumlah yang berada di Tembagapura sebanyak 3000 personil. Karena itu, dalam konteks HAM, Freeport berkontribusi terjadinya pelanggaran HAM dengan membiayai dan menyediakan dukungan untuk operasi-operasi kekerasan yang secara kejam dilakukan aparat TNI/Polri.
Selain pertambangan emas, terdapat juga investasi besar Proyek Tangguh di Teluk Bintuni British Petrolium (BP) dan Pertamina Indonesia. BP menginvestasikan kira-kira 4,6 milyar Dollar AS dan telah memperoleh kontrak penjualan selama 25 tahun untuk mengekspor sekitar 7 juta kaki kubik gas alam cair setiap tahunnya dari 14,4 trilyun kaki kubik cadangan gas yang dikonfirmasikan.
Selain pertambangan, wilayah Papua sudah habis di kapling-kapling untuk kepentingan investasi. Izin-izin penebangan kayu seperti HPH/IPK banyak bertebaran diseluruh Papua. Dan yang terbaru adalah proyek rencana pembangunan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
MIFEE adalah sebuah mega proyek di sektor agroindustri yang padat modal, padat teknologi, padat karya, dan sekaligus juga lapar lahan. Teknologi yang akan diterapkan, konon, terhitung teknologi mutakhir yang canggih. Dari segi kebutuhan lahan, lahan yang dibutuhkan juga terhitung sangat luas, yakni sekitar 1,2 juta ha (Pemerintah Daerah Kabupaten Merauke 2010). Bahkan ada pula yang mengatakannya hingga 1,6 ha. Jumlah ini setara sekitar 50% dari luasan kawasan budidaya potensial yang ada di Merauke; atau sekitar 2/3 dari luasan lahan basah yang tersedia di wilayah yang bersangkutan. Sebagian besar juga merupakan lahan gambut yang perlu dikelola secara hati-hati dan bahkan harus dikonservasi karena jika rusak – terbakar misalnya -- akan sulit memulihkannya kembali.
Hegemoni dan dominasi kekuatan modal semakin kuat mencengkeram di bumi Cendrawasih. Ironis, mengingat hampir seluruh tanah di Papua adalah tanah adat seperti yang di atur dalam Perdasus tentang tanah adat. Sumber-sumber penghidupan dan sumber daya alam yang semestinya dimiliki masyrakat adat Papua beralih dan dibawah kendali kekuatan modal. Kekuatan politik, perjanjian-perjanjian dan hukum dipakai untuk melindungi kepentingan pemodal, sedangkan rejim penguasa dan aparatus keamanan negara asyik dengan kepentingan ekonominya, atas nama “devisa negara” membentengi kepentingan kaum borjuasi, sekalipun terpaksa melanggar martabat kemanusiaan.
Idealnya, sengketa antara rakyat dengan negara dan korporasi dapat diselesaikan dengan damai dan adil. Kalau saja mandat yang terkait dengan hak masyarakat adat Papua untuk menentukan nasib sendiri untuk bebas menentukan status politiknya, dan bebas menentukan mengelola kekayaan dan sumber daya alam, dapat diwujudkan, dihormati, sebagaimana diatur dalam Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat, maupun instrumen internasional lainnya. Adakah keinginan Pemerintah Indonesia memberikan hak penentuan nasib sendiri untuk Orang Papua? Mari kita tunggu dan saksikan.
No comments:
Post a Comment