Sejarah pergolakan yang terjadi di Papua adalah sebuah cerita yang melibatkan isu keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam. Keadilan bagi rakyat Papua. Isu ini terkait dengan isu perusahaan multinasional, dimana Freeport menjadi bagian penting di dalamnya yang kemudian berbuah dalam isu militerisme dan isu kemerdekaan Papua dari RI. Dalam kisah pergolakan tersebut, tragedi berdarah dan korban jiwa adalah nasib yang selalu menimpa rakyat Papua. Dalam skala yang lebih luas, telah mengarah pada proses pemusnahan etnis Papua (etnosida).
Menuntut Freeport Menuai Bencana
Ketidakadilan dalam pengelolaan SDA di Papua, terutama dalam urusan pertambangan sumber daya emas dan tembaga oleh PT. Freeport dari tahun ke tahun selalu melahirkan kekerasan terhadap rakyat Papua. Kekerasan oleh Negara terhadap rakyatnya sendiri, melalui aparat Polri dan militer. Betapa negara (baca: rejim yang berkuasa) sangat berkepentingan terhadap keberadaan perusahaan raksasa ini.
Peristiwa terkini yang masih segar dalam ingatan adalah kekerasan yang terjadi pada 16 Maret 2006 di Abepura. Unjuk rasa menuntut tanggung jawab PT Freeport Indonesia kepada masyarakat setempat berakhir dengan bentrokan antara massa dengan aparat kepolisian. Akibatnya, tiga anggota Polri dan seorang anggota TNI AU tewas dan beberapa orang lainya terluka. Tidak diketahui secara pasti siapa sebenarnya pihak yang memulai bentrokan itu, tetapi yang jelas aparat memaksa untuk membuka jalan yang diblokir massa. Kemudian seorang anggota Polri yang mabuk melakukan provokasi dengan menembak seorang ibu yang bernama Rosihan Hartini Paiki. Ibu ini merupakan satu dari sekian banyak korban terluka dalam peristiwa itu.
Tewasnya beberapa aparat ini berbuntut pada aksi balas dendam yang dilakukan aparat Polri. Mereka melakukan sweeping dan penggeledahan di jalan-jalan, rumah penduduk dan asrama mahasiswa. Sejumlah orang dipukul dan dianiaya oleh aparat Brimob, termasuk penganiayaan terhadap beberapa wartawan yang sedang bertugas. Aksi “balas dendam” ini berlanjut dengan penembakan terhadap seorang alumni UNCEN pada tanggal 28 Maret 2006. Rentetan peristiwa kekerasan tersebut mencapai “klimaks” saat terjadi pembunuhan terhadap 16 mahasiswa Uncen. Aparat Polri “diduga” berada di balik aksi pembantaian tersebut.
Meskipun belum diketahui siapa pelaku penembakan itu, tetapi jelas bahwa peluru yang menewaskan seorang mahasiswa itu berasal dari senjata jenis SNW dan jenis revolver buatan Pindad yang merupakan salah satu jenis senjata yang dipakai Polri. Yang menarik dari peristiwa ini adalah bahwa ayah korban 28 Maret, yang bernama Salmon Iek meminta agar disamping dijatuhi pidana, pelaku penembakan itu juga harus dikenakan hukuman adat yang berlaku di Papua.
Keterlibatan militer dan Polri dalam memberi rasa aman bagi Freeport memang bukan rahasia lagi sebagai side job bagi mereka dan merupakan hubungan yang saling menguntungkan. Meskipun tidak ada investigasi resmi, tetapi mesranya hubungan mereka terlihat pada sejumlah kasus kekerasan oleh militer dengan menggunakan fasilitas Freeport. Seorang Antropolog Australia, Chris Ballard, yang pernah bekerja untuk Freeport, dan Abigail Abrash, aktivis HAM dari Amerika Serikat, memperkirakan, 160 orang telah dibunuh oleh militer antara tahun 1975–1997 di daerah tambang dan sekitarnya.
Kemesraan hubungan ini juga tampak pada alokasi dana Freeport, dimana mereka menghabiskan 35 juta Dollar Amerika untuk membangun infrastruktur militer seperti puluhan mobil Land Rover, dan sebagainya. Bahkan untuk memuluskan operasinya di Papua, sepanjang 1998 sampai 2004 Freeport memberikan hampir 20 juta dolar kepada militer Indonesia. Freeport tidak punya pilihan lain untuk mengamankan investasinya di Papua selain “menyewa” militer. Yang patut disayangkan adalah bahwa polisi dan militer kemudian mengerjakan pekerjaan yang diberikan Freeport dengan sangat baik.
Pelanggaran Hak Sipil dan Politik
Dalam konteks pelanggaran HAM, terutama pelanggaran terhadap hak-hak sipil dan politik, peristiwa kekerasan terakhir di Papua telah melanggar hak hak sipil dan politik dari beberapa subjek hukum sekaligus. Pertama, adalah hak berpendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 19, Pasal 21 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal tersebut jelas terlihat dengan tindakan represi oleh aparat terhadap
Kemudian adalah ketentuan mengenai Right to Self Determination sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 (ayat 1, 2 dan3) Kovenan ini. Rakyat Papua sebagai sebuah bangsa seharusnya memiliki hak untuk menikmati hak-hak tersebut, seperti hak untuk mengejar kemajuan ekonomi dengan melakukan pengelolaan terhadap sumber daya alam mereka sendiri. Aksi unjuk rasa yang dilakukan rakyat Papua dalam menentang investasi besar di Papua adalah perlawanan dalam konteks ini, dimana sebuah bangsa memperjuangkan hak hak tersebut. Akan tetapi di sisi lain negara yang berkolaborasi dengan korporasi seperti Freeport selalu berusaha membungkam suara-suara yang menyuarakan hak-hak mereka dengan melakukan kekerasan fisik dan mental. Pada hakekatnya perbuatan pembungkaman oleh negara terhadap rakyat Papua ini adalah bentuk pelanggaran terhadap Pasal 1 Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan Politik.
Korporasi dan pelanggaran hak-hak Sipil dan Politik
Dari rangkaian fenomena kekerasan tersebut diatas, yang memposisikan rakyat Papua berhadapan vis a vis dengan negara, lantas dimana pertanggungjawaban Freeport atas terjadinya berbagai peristiwa kekerasan tersebut? Soal-soal seperti ini harus dipertanyakan mengingat wacana tentang kekerasan masih melingkar seputar negara vs rakyat. Walaupun selama ini korporasi internasional (baca : modal) diposisikan menjadi satu badan yang tak terpisahkan dari negara dan instrumen kekerasannya, yakni militer. Namun hal itu dalam koteks ekonomi dan politik, sementara dalam konteks HAM sudah seharusnya korporasi mempunyai standar pertanggungjawaban sendiri terkait aspek perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Padahal jika diperiksa lebih jauh, korporasi-korporasi multinasional berkontribusi besar atas terjadinya berbagai pelanggaran HAM, termasuk hak-hak sipil dan politik (SIPOL) serta Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOB). Untuk itu, mari kita periksa bagaimana korelasi antara korporasi multinasional dengan praktek-praktek pelanggaran HAM.
Munculnya sengketa biasanya dipicu oleh tiadanya kemauan dari negara untuk menekan korporasi agar menerapkan standar-standar hak asasi manusia dalam pengoperasian perusahaannya. Persoalan ini mungkin berkaitan langsung dengan kepentingan dari negara dan perusahaan. Prioritas negara adalah kepentingan ekonomi walaupun mengabaikan pertangungjawaban sosial korporasi dan hak-hak asasi manusia. Sementara itu, korporasi menggunakan kelemahan itu untuk menekan ongkos produksi yang rendah dan melipatgandakan keuntungan. Contohnya, bahwa korporasi tidak dijangkau oleh hukum pertanahan ketika mereka menjalankan bisnis. Namun sebaliknya, hukum terlalu lemah untuk melindungi para pekerja dan lingkungan.
Persoalan lainnya adalah, beroperasinya korporasi dibawah rezim otoriter akan menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini korporasi bisa memperkuat sebuah rezim otoriter dan secara sistematis melanggar hak-hak asasi manusia melalui empat cara berikut: (1) Korporasi dapat memproduksi barang-barang yang digunakan rezim untuk meningkatkan kemampuan represi-nya; (2) Korporasi menjadi sumber pendanaan utama yang akan meningkatkan kapasitas represif dari sebuah rezim; (3) Korporasi menyediakan infrastruktur dalam bentuk jalan-jalan raya, rel kereta api, pusat energi, pengeboran minyak dan lain-lain yang akan meningkatkan represifitas sebuah rezim; (4)Korporasi akan menawarkan kredibilitas internasional
Dari sini, terlihat kontribusi korporasi atas berbagai praktek-praktek pelanggaran HAM. Sehingga sudah sepatutnya korporasi dipaksa untuk mengadopsi dan melaksanakan standar-standar pengoperasian usahanya yang berbasis pada perlindungan dan pemenuhan HAM. Kasus Freeport dan kekerasan yang terjadi di Papua merupakan wujud nyata dari persoalan tidak adanya pertanggungjawaban sosial sebuah korporasi. Juga terkait dengan kontribusi Freeport sendiri dalam memproduksi kekerasan yang terjadi di Tanah Papua.
Persoalan yang juga menjadi tanggung jawab sosial seluruh masyarakat pembela keadilan, demokrasi dan HAM adalah menjadikan persoalan ini makin luas diketahui publik dan membangun tekanan terhadap korporasi dan negara. Inilah satu pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan untuk disosialisasikan ke publik luas, tentang kontribusi korporasi multinasional atas terjadinya berbagai pelanggaran hak-hak sipil dan politik. Bukan hanya di papua namun di seantero Nusantara.
No comments:
Post a Comment