Kembali
saya tergerak untuk mencoba mengulas program-program capres, yang tertuang
dalam visi dan misi yang sudah disetorkan ke KPU. Obral janji dan jual program
demi mendulang suara dalam pilpres. Masing-masing pasangan capres kampanye
massif tentang program mereka bila terpilih nanti. Termasuk program lingkungan
hidup. Karena saat ini, hanya visi dan misi yang bisa dijadikan rujukan untuk
melihat sejauh mana para capres meyakinkan masyarakat untuk memilih mereka.
Desa Powulaa yang terancam di relokasi karena tekanan hutan lindung |
Kedua pasangan capres mempunyai program penyelamatan lingkungan, dan bahkan
pasangan Prabowo - Hatta menempatkan program dalam satu bagian tersendiri. Ada
delapan poin program lingkungan yang akan dijalankan pasangan Prabowo-Hatta
jika terpilih. Sedangkan program lingkungan pasangan Jokowi - JK terserak pada
beberapa program prioritas dengan penekanan pada upaya penegakan hukum. Bahkan
dengan tegas mereka menyatakan bahwa negara ini berada dalam titik kritis
bahaya kemanusiaan akibat kerusakan lingkungan hidup. Sebuah pernyataan yang
harus di bold karena disana ada kesadaran tentang bencana lingkungan kronis
yang tengah menjangkiti negara ini.
Saya
coba menyusun keping-keping program lingkungan pasangan Jokowi - JK yang
berserakan tersebut.
1. Menegakkan
hukum lingkungan secara konsekuen tanpa pandang bulu dan tanpa khawatir
kehilangan investor.
2. Menerapkan
kebijakan permanen bahwa negara berada pada titik kritis disebabkan kerusakan
lingkungan hidup.
3. Memfasilitasi
setiap warga negara supaya punya akses memiliki tanah sebagai tempat menetap
dan memperoleh penghidupan layak.
4. Mendorong
reformasi pertanahan melalui penyempurnaan UU Pokok Agraria.
5. Membuat
pengaturan jelas untuk mekanisme penyelesaian sengketa tanah dengan
memperhatikan hukum adat.
6. Menginisiasi
perangkat hukum khusus dengan satuan tugas khusus untuk menindak pelanggaran
yang berkaitan dengan illegal logging, illegal fishing, dan illegal mining.
7. Meningkatkan
kerja sama internasional untuk mencegah aktivitas ilegal di Indonesia dibawa ke
luar negeri dan sebaliknya.
Sementara program lingkungan pasangan Prabowo-Hatta yang terumuskan adalah sebagai berikut:
1. Memulai
reboisasi 77 juta hektare hutan yang rusak.
2. Menindak tegas
pelaku pencemaran lingkungan dan melindungi keanekaragaman hayati.
3. Melaksanakan
penanaman pohon penghasil kayu secara individu atau kolektif maksimal 5
hektare.
4. Mendorong
semua usaha kehutanan dan produk turunannya mendapat sertifikasi yang diterima
pasar global.
5. Mensyaratkan
kontribusi pembangunan hutan kota.
6. Merehabilitasi
daerah aliran sungai dan sumber air.
7. Mendorong
usaha batu bara, nikel, tembaga, bauksit, dan besi menjadi pertambangan yang ramah
lingkungan dan sosial.
8. Berperan aktif
dalam upaya mengatasi perubahan iklim global.
Dari program lingkungan kedua pasangan capres tersebut di atas, yang paling jelas terlihat adalah eksistensi manusia, dalam hal ini kelompok manusia yang berada dilingkaran sebuah ekosistem (baca: lingkungan). Dalam program lingkungan pasangan Prabowo - Hatta, nyaris tak ada tempat bagi eksistensi manusia. Misalnya eksistensi masyarakat adat dan komunitas-komunitas lokal disekitar kawasan hutan. Peran masyarakat adat atau komunitas lokal dinegasikan, bisa dianggap tidak ada, atau tidak dilibatkan dalam praktek-praktek pengelolaan lingkungan seperti yang tertuang dalam delapan poin program lingkungan hidup mereka. Inilah model pengelolaan lingkungan Eco fascism atau faham fasis konservasi lingkungan.
Saat Penulis berkunjung ke Desa Powulaa |
Pengelolaan lingkungan ala eco
fascism berpandangan bahwa kelestarian lingkungan adalah untuk lingkungannya
itu sendiri. Dengan resiko apa-pun. Dengan kata lain bagi penganut faham ini,
lingkungan atau sumberdaya alam kalau perlu harus ‘dimurnikan’ dari masyarakat
yang telah turun temurun mendiami kawasan tersebut demi menjaga kelestarian
lingkungan/sumberdaya alam itu sendiri. Konservasi lingkungan di atas kehidupan
manusia. Artinya masyarakat adat dan atau komunitas-komunitas lokal yang sudah mendiami
sebuah kawasan ekosistem jauh sebelum negara terbentuk harus menyingkir. Tak
peduli bahwa komunitas tersebut telah menyatu dengan alam, dan hidup bergantung
pada alam, serta mengelola alam secara arif dan lestari berbasis pada kearifan
lokalnya. Kasus-kasus penyingkiran komunitas-komunitas adat ini banyak terjadi
pada masa kekuasaan orde baru. Penyingkiran dilakukan dengan cara kekerasan
melalui mobilisasi tentara atau penyingkiran lewat kebijakan.
Dengan alasan konservasi hutan, komunitas-komunitas adat direlokasi dari pemukimannya ditengah hutan. Orang rimba direlokasi dari pemukimannya lewat program depsos yakni Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing atau PKMT (baca penderitaan dan penghancuran budaya orang rimba), komunitas adat moronene diusir dengan bedil hingga ada yang tewas (baca Kumpulan berkas kasus masyarakat Moronene dan Taman Nasional Sulawesi.), komunitas adat Punan direlokasi lewat program transmigrasi lokal (baca kesaksian orang punan) dan masih banyak kasus-kasus lain terkait konflik kawasan konservasi vs masyarakat adat. Intinya program eco fascism ini mengharamkan aktifitas manusia dalam kawasan dan menjauhkan mereka dari sumber daya alamnya.
Saat ini, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kemenhut tahun 2007 dan 2009, terdapat 31.957 desa yang saat ini teridentifikasi berada di sekitar dan dalam kawasan hutan yang sedang menunggu proses kejelasan statusnya. Di banyak desa bahkan hampir secara keseluruhan wilayah administratifnya berada di dalam kawasan hutan lindung atau konservasi, yang berarti jika paham eco fascism dipraktekan maka desa-desa tersebut dapat direlokasi paksa dan dengan mudah dianggap sebagai tindakan illegal bila ada masyarakat yang memungut atau mengambil kayu hasil hutan.
Penulis sendiri pernah terlibat
langsung dalam mengadvokasi masyarakat 4 desa di kecamatan Palolo yang
berkonflik dengan pengelola Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah (baca Walhi: Kasus Dongi-dongi karena Hak Rakyat Tidak Diakui).
Banyak jatuh korban. Puluhan orang di penjara karena memungut hasil hutan,
sementara beberapa lainnya harus mengalami kekerasan petugas jaga wana. Hal ini
terjadi karena praktek pengelolaan kawasan konservasi ala eco fascism yang
mengharamkan manusia beraktifitas didalam kawasan hutan konservasi.
Walau
ini masih analisa awal, tapi semangat eco fascism cukup terekam kuat dalam program
lingkungan pasangan Prabowo - Hatta. Tak terekam di sana upaya meningkatkan
partisipasi dan menghormati kearifan-kearifan adat yang masih berlaku
dibeberapa komunitas adat.
Berbeda dengan program pasangan Jokowi - JK. Ada penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan kawasan berbasiskan kearifan adat. Ini yang disebut dengan Eco populism atau lingkungan kerakyatan adalah gerakan konservasi lingkungan yang sangat berpihak kepada kepentingan rakyat banyak: konservasi lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat.
Semboyan eco populism yang paling terkenal misalnya ‘hutan untuk rakyat’ dan lainnya. Kelompok ini memikirkan secara kritis, siapa yang paling ber-hak atas lingkungan atau sumberdaya alam yang ada di suatu kawasan?
Melihat
situasi Indonesia, tentu model pengelolaan lingkungan yang ada di negara ini
harus mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan potensi
sumberdaya alam yang dimilikinya. Tidak hanya memikirkan lingkungan demi
lingkungannya itu sendiri, atau sebagai intrument bagi kelangsungan pertumbuhan
ekonomi dan produksinya, dan atau-pun lingkungan semata untuk rakyat.
Tim
perumus visi dan misi Jokowi – JK tampaknya sangat memahami persoalan krusial
dan urgen terkait dengan persoalan lingkungan. Dalam sebuah ekosistem, manusia
adalah bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan dan ekosistem. Sehingga
upaya penghormatan terhadap komunitas-komunitas adat tercantum jelas dalam
program lingkungan mereka. Tim perumus visi dan misi Jokowi – JK mencatat semua
masukan dari kelompok-kelompok masyarakat sipil dan dirumuskan dalam bentuk
visi dan misi. Mereka mencari tahu akar permasalahan dari meletupnya konflik
diberbagai wilayah terkait dengan perebutan sumber daya alam dan hutan, antara
masyarakat adat dan lokal melawan pemodal yang dibekingi pemerintah. Untuk data
konflik masyarakat adat bisa dibuka disini Data Konflik Masyarakat Adat 2013
Sumber foto Mongabay |
Akar
masalah konflik adalah kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang menegasikan
hak-hak masyarakat adat dan lokal, sehingga dalam programnya Jokowi – JK akan
mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat. Dan juga akan mendorong penyempurnaan
UUPA. Jika kedua pasang UU organik ini disahkan dan disempurnakan, juga
diimplementasikan dengan benar, maka penulis yakin bahwa berbagai persoalan
konflik-konflik tenurial yang sudah kronis tersebut bisa diminimalisiri. Penyempurnaan
UUPA harus juga mengembalikan fungsi utama UU ini sebagai UU payung. Artinya
sebagai UU Pokok maka berbagai UU sektoral terkait agraria harus merujuk pada
UUPA. UU sektoral yang sudah disahkan harus segera disinkronisasi dan
disesuaikan dengan UUPA. Mantab bukan!
Dari
visi dan misi para capres dalam konteks lingkungan, ada secercah harapan pada
pasangan Jokowi – JK terkait dengan persoalan lingkungan. Program yang mereka
tawarkan lebih detail dan kongkrit untuk menjawab berbagai persoalan yang
mendera lingkungan dan ekosistem Indonesia. Bahkan dengan tegas mereka akan menegakkan
hukum lingkungan secara konsekuen tanpa pandang bulu dan tanpa khawatir
kehilangan investor. Tawaran program yang memberikan harapan bagi keberlanjutan
lingkungan dan ekosistem untuk generasi yang akan datang. Mari kita kawal
program-program para capres jika mereka terpilih nanti.